Oleh: Abdulmujib Bin Abdullah Alhaddad
Ketua Rabithah Alawiyah Pontianak 2020-2025
Pontianak, sebuah kota yang dilintasi garis Khatulistiwa, tidak hanya unik secara geografis tetapi juga kaya akan sejarah peradaban yang berawal dari tepian sungai. Ibu kota Provinsi Kalimantan Barat ini bertransformasi dari pusat kesultanan maritim menjadi kota perdagangan dan jasa yang modern, penuh Keunikan Geografis dan Budaya.
Identitas paling khas Pontianak adalah tepat dilintasi oleh Garis Khatulistiwa. Tugu Khatulistiwa di Pontianak Utara menjadi ikon kota yang mengglobal, dan fenomena bayangan benda “menghilang” total (nol derajat) terjadi dua kali setahun menjadi penarik wisatawan manca negara.
Berdirinya Kota
Kota Pontianak dimulai pada tanggal 23 Oktober 1771 Masehi (bertepatan dengan 14 Rajab 1185 Hijriah). Pendirinya Syarif Abdurrahman bin Husin Alkadrie, ulama dan pedagang keturunan Arab, Hadramut Yaman juga putra dari Mufti Kerajaan Matan.
Pendirian kota ini ditandai dengan pembukaan hutan di pertemuan strategis dua sungai, Sungai Kapuas Kecil dan Sungai Landak. Lokasi persimpangan sungai ini menjadi lokasi berdirinya Masjid Jami Sultan Abdurrahman Alkadrie dan Istana Kadriyah, menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Pontianak.
Lokasinya yang strategis sebagai gerbang masuk ke pedalaman Kalimantan via Sungai Kapuas, Pontianak segera berkembang menjadi pusat perdagangan dan pelabuhan penting. Pada masa Belanda, ditetapkan sebagai ibu kota Karesidenan Borneo Barat dan fungsinya sebagai pusat administrasi dan ekonomi diperkuat.
Namun, masa pendudukan Jepang (1942–1945), terjadi tragedi yang dikenal Pembantaian Mandor, menewaskan ribuan kaum Cerdik cendekiawan dan bangsawan dari Pontianak dan sekitarnya, termasuk Sultan Muhammad bin Yusuf Alkadrie , Sultan berdaulat terakhir dari Kesultanan Pontianak.
Saat ini, Pontianak adalah pusat pemerintahan, ekonomi, pendidikan, dan layanan kesehatan terbesar di Kalimantan Barat. Dengan Pembangunan dan Infrastruktur, Pemerintah Kota Pontianak berfokus pada perbaikan infrastruktur untuk mengatasi tantangan klasik kota, yaitu banjir (mengingat ketinggian kota yang hanya 0,1 hingga 1,5 meter di atas permukaan laut) dan kemacetan. Peran sebagai gerbang ekonomi semakin kuat dengan adanya Pelabuhan dan Bandara Supadio(Sultan Syarif Abdurrahman AlQadri), yang menghubungkan Kalbar dengan wilayah lain di Indonesia dan luar negeri.
Kota terus mengalami modernisasi dengan pembangunan pusat perbelanjaan dan ruang terbuka hijau. Meskipun laju perkembangan infrastruktur terus berjalan, Pontianak tetap mempertahankan nuansa “kota air” dan nilai-nilai warisan Kesultanan, menjadikannya kota wisata yang dinamis sekaligus penuh sejarah di garis Khatulistiwa.
Kota Multikultur
Pontianak adalah kota yang sangat majemuk. Tiga etnis utama yang membentuk kerukunan social. Melayu, Tionghoa dan Dayak. Melayu menjadi pilihan identitas budaya oleh pendiri Pontianak, dan selanjutnya menjadi budaya paling dominan di Kota Pontianak, dari Bahasa keseharian yang digunakan maupun adat istiadat resminya.
Tionghoa Adalah Komunitas berperan besar di sektor perdagangan sejak lama, dengan tradisi Imlek dan Cap Go Meh yang dirayakan secara meriah.
Dayak: Berasal dari pedalaman Kalimantan, turut membentuk budaya dan seni Pontianak. Selanjutnya berbagai etnis lainnya membaur Bersama membentuk komunitas yang heterogen. Kerukunan antar-etnis dan antar-agama ini menjadi landasan utama bagi pembangunan kota yang harmonis.
Pontianak saat ini dikenal sebagai kota jasa dan perdagangan. Sektor kuliner kota ini juga sangat terkenal, mulai dari olahan hasil laut hingga aneka kue dan minuman khas Tionghoa-Melayu seperti Bingke, Blodar, putri salad, Choi Pan, Kwe Kia Theng, dan aneka gorengan. Dan warung kopi yang begitu banyaknya dan selalu dipenuhi pengunjung berbagai etnis yang duduk bersama bersenda sapa tanpa hirau akan dia itu siapa. Begitu pula dengan berdirinya klenteng ,vihara , gereja serta rumah radank yang menambah warna heteregonitas terlihat semakin jelas , namun tetap dalam kedamaian.
Kesemua itu akibat dari asimilasi budaya yang Heterogen tapi tetap dalam harmoni tanpa menghilangkan ciri khas masing-masing.
Komunitas Syarif atau Alawiyin Bagian Pondasi dan Penggerak Kota
Komunitas Syarif atau Alawiyin memiliki kedudukan dan peran yang sangat sentral dalam sejarah, sosial, dan budaya Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Komunitas yang telah memilih Melayu sebagai identitas budaya, secara fundamental tidak dapat dipisahkan dengan Kota Pontianak.
Istilah Syarif/Syarifah atau Alawiyin atau (untuk laki-laki dan perempuan) merujuk kepada keturunan Nabi Muhammad SAW , melalui jalur migrasi dari Hadramaut, Yaman ke Nusantara ini, bersama keturunan Arab Yaman lainnya di Pontianak. Komunitas ini memiliki marga-marga yang umum seperti Alkadrie, AL idrus, Al-Habsyi, Al-Haddad, Al-Muthahar, Assegaf dan lainnya.
Komunitas Alawiyin sebagai bagian dari masyarakat Pontianak, juga adalah komunitas yang telah mendirikan dan memimpin kota ini, sebagaimana disampaikan di awal tulisan. Para Syarif (dan juga para Masayeh dari Yaman) berperan ganda sebagai pemimpin politik-agama dan juga sebagai pedagang ulung, menjadikan Pontianak sebagai pusat perdagangan maritim yang maju di Kalimantan Barat, sambil menyebarkan ajaran Islam .
Di Pontianak, identitas Syarif/Alawiyin sangat dijaga, terutama melalui gelar yang dilekatkan pada nama. Penjagaan nasab ini diurus oleh lembaga resmi Rabithah Alawiyah, yang memiliki Dewan Pimpinan Cabang (DPC) di Pontianak, Kubu Raya, dan kabupaten lain di Kalimantan Barat, yang berfungsi mencatat dan memverifikasi silsilah keturunan ini.
Kontribusi Sosial Budaya, Ekonomi dan Keagamaan
Setelah berakhirnya masa Kesultanan, peran Alawiyin bergeser ke ranah sosial, pendidikan, dan dakwah, Komunitas ini berperan aktif dalam membina dan menyebarkan ajaran Islam, terutama melalui majelis taklim, pesantren, dan kegiatan keagamaan yang berpegang teguh pada akidah Asy’ariyyah dan fiqih Syafi’i (sebagaimana tradisi Hadramaut).
Banyak tokoh Syarif yang menjadi figur berpengaruh di bidang politik, pendidikan, dan kepemimpinan sosial di Kalimantan Barat, meneruskan peran leluhur mereka sebagai pelayan umat. Komunitas Syarif aktif melestarikan budaya Melayu-Pontianak yang erat dengan Kesultanan, terutama melalui ritual adat terutama di Istana Kadriyah maupun disaat tertentu seperti pernikahan, sambutan tamu khusus, kelahiran, khataman maupun moment keagaan lainnya (maulid, tahun baru Hijriah, Ramadhan dan ied).
Aktivitas Masa Kini
Akar genetis Syarif Abdurrahman sebagai seorang pedagang masih tercermin dalam aktivitas komunitas ini, yang Menjadi salah satu Penggerak Ekonomi Kerakyatan Banyak anggota komunitas yang aktif di sektor perdagangan dari kaki lima hingga toko besar, dan dari kuliner hingga tekstil, turut menggerakkan roda ekonomi kerakyatan yang menjadi daya tarik Pontianak.
Mereka juga berperan dalam jaringan perdagangan yang lebih luas di tingkat regional maupun internasional, memanfaatkan warisan koneksi maritim leluhur. Beberapa Syarif dan Syarifah terlibat dalam pendirian dan pengelolaan lembaga pendidikan Islam, seperti pondok pesantren, madrasah, dan sekolah berbasis yayasan. Mereka juga aktif di bidang sosial dengan mendirikan yayasan atau lembaga amal yang bergerak di bidang kesehatan dan bantuan kemanusiaan.
Komunitas Syarif/Alawiyin menunjukkan keaktifan dalam berbagai aspek kehidupan modern sambil tetap menjunjung nilai-nilai tradisi, dengan dan bersama Lembaga Rabithah Alawiyah Pontianak, komunitas syarif menjadi wadah pemersatu, tidak hanya fokus pada pencatatan nasab keluarga saja, tetapi juga mengadakan kegiatan sosial, olahraga, hingga kajian keagamaan. Meskipun menjaga keunikan nasab mereka, komunitas syarif yang memilih budaya melayu sebagai identitas budaya di Pontianak dan hidup berdampingan secara harmonis dengan etnis Melayu non-Alawiyin, Dayak, dan Tionghoa, serta etnis-etnis lainnya, yang menegaskan karakter multikultural Kota Pontianak.
Secara keseluruhan, komunitas Syarif atau Alawiyin di Pontianak adalah penggerak historis kota, dan hingga hari ini, mereka tetap menjadi salah satu elemen keagamaan dan budaya yang paling dihormati dan berpengaruh di ibu kota Khatulistiwa ini.
Komunitas Syarif atau Alawiyin di Pontianak, dengan jalur nasab hingga Nabi Muhammad SAW, melanjutkan peran dakwah mereka. Bukan sekadar sebagai minoritas etnis yang memilih budaya melayu sebagai identitas budaya saja, melainkan menjadi fondasi peradaban dan pilar keagamaan yang membentuk karakter kota hingga saat ini.
Sentra Majelis Ilmu dan Haul
Pontianak telah menjadi salah satu simpul penting bagi pelaksanaan tradisi keagamaan, para Syarif secara rutin menyelenggarakan majelis taklim, majelis zikir, dan pembacaan maulid (seperti Maulid Simthud Durar atau Ad Diyai al-Lami’) yang dihadiri oleh puluhan ribu jamaah, melintasi batas etnis. Acara-acara ini seringkali mengundang ulama besar dari luar kota atau bahkan luar negeri. Peringatan haul para ulama Alawiyin yang wafat, seperti Haul Habib Sholeh bin Alwi Al-Haddad, menjadi keagamaan akbar yang menyatukan masyarakat Pontianak dan sekitarnya, bahkan dari negara tetangga.
Ini menunjukan bukti Sejak era Sultan Syarif Abdurrahman, dakwah dilakukan dengan pendekatan hikmah (kebijaksanaan) dan penggabungan budaya lokal (akulturasi), sehingga Islam diterima secara damai oleh berbagai suku di Kalimantan.
Rabithah Alawiyah (RA) memiliki DPC yang aktif di Pontianak, berfungsi sebagai payung organisasi untuk seluruh komunitas Alawiyin , selain utamanya mencatatan Nasab keluarga Syarif, sebagai bentuk penghormatan dan pelestarian identitas. Rabitha Alawiyah Pontianak juga aktif mengadakan acara acara persatuan, termasuk kegiatan sosial dan kegiatan pemudayang bertujuan mempererat tali silaturahmi antar-marga Alawiyin dan masyarakat luas, bentuk dari ukhwah islamiah dan ukhwah wataniyah.
Akhiru Kalam
Komunitas Syarif/Alawiyin di Pontianak adalah penjaga spiritual dan kebudayaan kota Pontianak. Mereka berhasil menyeimbangkan peran mereka sebagai pewaris Kesultanan dan penggerak agama, sambil berintegrasi penuh dalam pembangunan Pontianak modern. Keberadaan mereka, yang ditandai dengan masjid-masjid kuno, istana bersejarah, dan riuhnya majelis maulid, menjadikan Pontianak bukan hanya kota dagang di Khatulistiwa, tetapi juga pusat peradaban Melayu-Islam yang kuat.