Pengalaman Bayar Pajak di Bank Kalbar Bikin Warga Pontianak Merasa “Dikerjain”

Pengalaman Bayar Pajak di Bank Kalbar Bikin Warga Pontianak Merasa "Dikerjain". (Foto:Facebook/Rosadi Jamani)

KalbarOke.Com – Pengalaman bayar pajak kendaraan yang seharusnya mudah dan cepat berubah menjadi kisah yang menguras tenaga dan waktu bagi seorang warga di Pontianak, Rosadi Jamani. Melalui unggahan di akun Facebooknya, ia menceritakan pengalamannya yang “unik” saat mengurus pembayaran pajak di Bank Kalbar Cabang Pasar Sentral Pontianak pada Selasa, 5 Agustus 2025.

Rosadi, yang juga merupakan Ketua Satupena Kalbar, menggambarkan perjalanannya membayar pajak seperti sebuah “perjalanan spiritual”. Berangkat dengan semangat nasionalisme, ia mendapati kenyataan yang jauh dari bayangannya tentang sistem perbankan modern. Ia menemukan ruko satu pintu dengan antrean panjang, di mana proses pembayaran masih dilakukan secara manual.

“Ini bukan digitalisasi. Ini naskah kuno,” tulisnya, menggambarkan petugas yang masih mencatat nomor telepon di balik STNK menggunakan pulpen, bukan tablet atau barcode scanner.

Baca :  Gebrakan "Anti-Balap Liar" dan Diskon Pajak Fantastis di Kalbar: Operasi Patuh Kapuas 2025 Dimulai!

Antrean yang mengular dan proses yang lambat membuatnya harus menunggu berjam-jam. Ia juga mendapati sistem pembayaran yang tidak sesuai dengan zamannya. Saat ingin membayar dengan QRIS atau uang digital, ia justru diarahkan untuk membayar secara tunai.

“Mbaknya senyum, tapi tajam. ‘Mohon maaf, di sini harus cash’,” tulis Rosadi menirukan percakapan dengan petugas.

Situasi semakin rumit karena ia bukan nasabah Bank Kalbar dan kartu ATM banknya kedaluwarsa. Rosadi harus berjuang mencari ATM lain, mengurus penggantian kartu, hingga akhirnya berhasil menarik uang tunai untuk membayar pajak.

“Saya lari keluar dari areal Bank Kalbar, lalu mencari ATM tempat uang saya diparkir selama ini,” kisahnya.

Baca :  Universitas PGRI Pontianak Perkuat Kualitas Guru Lewat Koordinasi UKPPPG Tahap I 2025

Pengalaman ini memicu kekecewaannya terhadap sistem perbankan yang ia anggap masih tertinggal. Ia merasa diperlakukan seperti warga “analog” di era digital. Bahkan, ia menyindir bahwa tukang cilok di pinggir jalan sudah menggunakan QRIS, sementara bank masih mengandalkan uang tunai dan proses manual.

“Di zaman semua bisa lewat HP, kau masih percaya pada fotokopi dan bolpen,” kritiknya.

Rosadi berharap, pengalamannya ini bisa menjadi masukan bagi pihak terkait untuk memperbaiki sistem layanan publik, khususnya pembayaran pajak, agar lebih efisien dan modern sesuai dengan perkembangan zaman. (aw/01)

Facebook Comments

Artikel ini telah dibaca 2045 kali