KalbarOke.Com –Permohonan praperadilan yang diajukan oleh Advokat Daniel Teguh Pradana Sinaga, S.H., M.H. mengenai tidak sahnya penetapan dirinya sebagai tersangka oleh Kepolisian, ditolak oleh Hakim Tunggal Pengadilan Negeri (PN) Pontianak pada Senin (27/10/2025).
Menanggapi putusan tersebut, Daniel Sinaga menyatakan kekecewaannya yang mendalam. Ia menilai putusan hakim tidak mempertimbangkan secara menyeluruh substansi persoalan, terutama menyangkut kedudukannya sebagai seorang advokat yang sedang menjalankan tugas profesinya.
Daniel Sinaga menyoroti tiga hal mendasar yang menurutnya seharusnya menjadi pertimbangan hakim, yaitu:
1. Kesesuaian proses penyidikan yang dilakukan oleh Polresta Pontianak terhadap seorang Advokat dengan ketentuan hukum yang berlaku.
2. Kesesuaian penetapan tersangka terhadap seorang Advokat dengan ketentuan hukum yang berlaku.
3. Apakah hak imunitas (kekebalan) yang dimiliki Advokat sesuai Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan perluasannya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013 dapat diabaikan oleh aturan umum.
Daniel berpendapat bahwa putusan hakim tunggal praperadilan tersebut dinilai “tidak profesional dan tidak bermutu” serta menunjukkan minimnya pemahaman tentang syarat mutlak pemeriksaan/proses hukum terhadap seorang advokat yang dilaporkan saat melaksanakan tugas profesi dengan itikad baik, khususnya dalam persidangan elektronik (e-Court).
“Saya sangat kecewa dengan hasil putusan ini karena tidak mempertimbangkan secara komprehensif tentang syarat mutlak pemeriksaan/projustitia terhadap diri seseorang Advokat yang dilaporkan oleh sesama Advokat di mana Advokat terlapor sedang melaksanakan tugas profesinya dengan beritikad baik dalam persidangan elektronik,” ujar Daniel kepada wartawan.
Daniel menegaskan bahwa kondisi ini menyulitkan Advokat untuk mendapatkan perlindungan hukum dalam menjalankan tugas profesi, terutama dalam persidangan secara elektronik (e-Court) berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung R.I Nomor 7 Tahun 2022. Ia bahkan menyebut dirinya sebagai pengacara korban pertama yang dikriminalisasi oleh polisi dan dibenarkan oleh putusan hakim yang dinilainya “tidak memakai hati nurani.”
Kejadian yang menimpa Daniel berawal ketika ia bertugas sebagai anggota Tim Kuasa Hukum dalam perkara perdata yang disidangkan secara elektronik melalui Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Pontianak/e-Court.
Secara mengejutkan, Penyidik Polresta Pontianak menetapkan Daniel sebagai tersangka tunggal dengan tuduhan melanggar Pasal 45 Ayat (4) dan ayat (6) juncto Pasal 45 A ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang ITE, serta Pasal 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Daniel menekankan bahwa penetapan tersangka saat ia menjalankan tugas mewakili kepentingan hukum klien di pengadilan merupakan bentuk pelecehan dan penghinaan terhadap martabat Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) yang dilindungi oleh Undang-Undang.
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat secara jelas menyatakan: “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan dan diluar persidangan” yang diperluas oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013.
Menyikapi penolakan praperadilan ini, Daniel Sinaga memastikan bahwa ia dan tim pengacara akan mengajukan kembali permohonan praperadilan untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.
Tidak hanya itu, Daniel juga berencana melaporkan Hakim Tunggal yang bersangkutan ke berbagai lembaga pengawas, termasuk Badan Pengawasan Mahkamah Agung R.I., Komisi Yudisial R.I., dan Pengadilan Tinggi Pontianak. Pelaporan ini bertujuan agar dilakukan pemeriksaan dan eksaminasi terhadap putusan yang dinilai “sesat” tersebut, serta agar dijatuhkan sanksi yang tegas demi menjadi pelajaran bagi seluruh hakim di Indonesia.







