Bikin geli hati saja. Kalau diingat. Sabtu lalu, tanggal 3 September siang, sekitaran di atas jam duaan, dalam perjalanan di lintasan jalur Pantai Utara Kalbar, Saya mampir ke salah satu SPBU yang kebetulan sedang tak ramai. Berada di posisi paling belakang, Saya ikut berjejer di jalur roda empat. Di depan Saya masih ada tiga atau empat mobil yang sedang mengisi tanki kendaraannya.
Persis pada giliran Saya, tiba tiba petugas pomp menyambangi. Bukannya untuk menanyakan "berapa" jumlah liter, tapi malah mengabarkan sedang ada pergantian shift. Karena diminta menunggu, akhirnya Saya tak beranjak.
Hampir sepuluh menit terdiam, petugas SPBU kembali datang. Menjelaskan layanan pengisian tak bisa dilakukan karena sedang ada gangguan. Sontak Saya hanya tersenyum sambil bergumam. "Paling mau naikan harga tuh!" Akhirnya, Saya dan beberapa mobil yang ngantre di belakang, bubar meninggalkan SPBU tersebut.
Alhasil memang benar adanya. Pertalite yang semula harganya Rp 7650 naik menjadi Rp 10000. Solar dari Rp5150 menjadi Rp 6800. Begitupun beberapa produk BBM yang lainnya juga naik.
Presiden Jokowi yang mengumumkannya, siang itu. Dan kebijakan pun berlaku Sabtu siang itu juga .
Pengumuman kenaikan BBM oleh Presiden seolah kian lengkap menjadikan September tahun ini menjadi tak ceria. Belum selesai cerita Sambo yang hampir setiap hari-bak drama berseri, publik semakin riuh rendah dengan kenaikan bahan bakar minyak.
Meski sebenarnya, pada jauh hari, sudah lebih dari sepekan sebelumnya, kabar akan naiknya BBM berhembus, tetap saja khalayak terkaget kaget. Baik itu alasan dan tindaklanjut dari kebijakan yang dipaparkan pemerintah-akan ada bantuan uang tunai, tetap tak serta merta meredam nelangsa. Buruh berteriak di jalan. Begitu juga mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya, berdemo.
Kalau dirunut, cerita BBM naik bukanlah hal baru. Sejak zaman pemerintah silih berganti, reformasi, pun hingga sekarang ini, kita sudah 'kenyang' dengan kebijakan kenaikan minyak. Berkali kali. Setiap BBM naik disambut demo. Mulai dari demo kecil kecilan sampai demo besar besaran. Lama lama meredup sendiri riak tersebut. Rakyat seolah 'adaptif'. Bisa 'menyesuaikan' terhadap lonjakan BBM seiring berjalannya waktu.
Malah untuk kebijakan BBM naik tahun ini, khusus di Kalbar, bisa dibilang relatif adem. Kalau dulu, biasanya, antrean motor atau mobil sontak mengular beberapa hari menjelang BBM naik. Namun sekarang tidak terlalu. Malah kalah dengan antrean panjang truk yang sudah sekian bulan menjadi pemandangan setiap hari di seluruh SPBU di daerah ini.
Begitupun dengan demo. Hanya beberapa kali saja digelar. Itupun mereka yang berdemo tak begitu ramai. Hanya secuil dari mahasiswa yang ada. Sakan akan, mahasiswa di Kalbar memaklumi dan paham dengan beban anggaran yang sedang dipikul oleh Pemerintah saat ini. Sosialisasi tentang kebijakan menaikan BBM berhasil "diserap" dan "dicerna" oleh mereka-para cerdik pandai dan intelektual tersebut.
Alasan BBM naik juga itu itu saja. Harga minyak mentah dunia yang melonjak menyebabkan hitungan subsidi menjadi meleset. Agar rasio anggaran negara tetap pada batas wajar dan aman, dengan berat hati jumlah subsidi untuk BBM tak ditombok. Dari pada program pembangunan mandek, cadangan devisa jebol dan hutang negara tak terus menggunung, malah bikin repot dan kacau balau. Begitu kiranya lagu baru, mp3 lama, yang sering kita dengar dimusim kenaikan BBM..wkwkwk..!!
Selain beberapa alasan tadi, kenaikan BBM juga selalu diikuti dengan peluncuran program bantuan tunai kepada masyarakat terdampak. Konon narasinya seperti ini. "Daripada menyubsidi BBM ratusan triliun kepada warga yang mampu, mending uangnya untuk rakyat kecil."
Nah, ngomong ngomong terkait hal terdampak dari kenaikan BBM, memang hal tersebut suatu yang pasti. Bahkan, ini yang sebenarnya bikin kuatir. BBM produk strategis dan vital. Sumber energi. Tentu stok dan harga bahan bakar minyak sangat memberikan dampak. Efeknya bak domino. Ekonomi, sosial dan politik dan lainnya akan terimbas. Lagi lagi, biasanya, rakyat kecil terkena dampaknya. Kesejahteraan kian terhimpit oleh melambungnya harga barang kebutuhan.
Inflasi salah satu dampak yang biasanya tak terelakan. Jangankan pasca pengumuman kenaikan, baru kicau burung saja akan ada kenaikan BBM, sejumlah harga barang di pasar kadang sudah naik terlebih dahulu. Nah, yang begini jadi pemicu inflasi. Akhir muaranya tentu menjadi beban bagi rakyat.
Karenanya, kita berharap, pemerintah selaku pemegang kuasa, memiliki kemampuan untuk mengendalikan harga di pasaran. Baik itu melalui regulasi maupun intervensi.
Kampanye inflasi nol persen yang dulu pernah digaungkan oleh Pemerintah Malaysia-disaat priode pertama Mohathir berkuasa era 80 an dan 90 an-memberikan hasil efektif, bisa saja diadopsi. Malaysia memantau dan mengendalikan harga dengan ketat. Bukan cuma mengawasi, sanksi juga diberikan kepada pedagang yang melanggar.
Sembari menunggu rilis inflasi dibulan berkutnya pasca kenaikan BBM, ada baiknya semua pemangku kepentingan bekerja ekstra. Kontrol atau pengawasan pergerakan harga barang di pasar harus dilakukan rutin. Begitupun terkait penyaluran bantuan uang tunai kepada masyarakat terdampak, diawasi ketat agar tepat sasaran.
Dan, satu hal yang pasti. Hiruk pikuk di bulan ini jangan sampai membuat suasana menjadi panik dan gaduh. Kalau terus saja diliputi kekalutan, ya, dengan terpaksa, tembang merdu si Burung Camar pun ikutan terdampak. Syairnya bukan lagi "September Ceria", tapi berubah menjadi "September (tak) Ceria"...wkwkwkwk..!! (Penulis bekerja di Pontianak TV)