Balik Kampong. Pulang Kampung. Ataupun juga Mudik. Ketiganya tersebut punya makna yang sama saja. Tapi untuk hal mudik, biasanya dikaitkan dengan momentum lebaran atau Idul Fitri. Tujuan pulang ke kampung halaman adalah untuk berlebaran bersama keluarga tercinta.
Mudik atau balik kampung sudah menjadi tradisi di negeri ini saban tahun. Heboh. Ramai. Berjubel. Hal tersebut dapat dimaklumi. Negara Indonesia berpenduduk seperempat miliar lebih. Mayoritas beragama Islam. Klop lah sudah hiruk pikuknya pasti.
Namun dalam dua tahun terakhir, kehebohan menjadi bertambah. Apalagi kalau bukan penyebabnya si corona dan si covid itu. Menghindari penyebaran penularan, pemerintah membuat kebijakan “stop mudik” untuk tahun 2021 ini. Dengan rentang waktu pengetatan pada seminggu sebelum dan seminggu setelah hari H Idul Fitri.
Kalau di tahun kemarin 2020, efek yang dirasakan lebih karena shock lantaran baru dilanda pandemi, tapi kali ini, penyebabnya yaitu efek booming corona di India. Apalagi kabarnya, virus dari mutasi corona 19 tersebut sudah ada masuk ke Indonesia. Makanya, pemerintah sangat khawatir kejadian serupa juga melanda negara Kita. Tentu tak dapat dibayangkan, repotnya menangani korban yang meluber seperti di India tersebut.
Tapi, bukan orang Indonesia nama nya, kalau mereka tak pandai mencari celah. Karena sudah diumumkan pelarangan di rentang waktu sebelum dan sesudah lebaran, lantas para pemudik berangkat memilih untuk berangkat pulang ke kampung lebih awal dari waktu yang dilarang. Karena rerata hampit semua dengan pemahaman yang sama tadi, ya, akhirnya tetap saja menimbulkan keramaian. Jubelan tak terhindarkan, terjadi di sejumlah titik keberangkatan yang menggunakan transportasi umum.
Bagi masyarakat, kebijakan injak rem darurat oleh Pemerintah terkait pandemi kini seolah sudah biasa. Ini lantaran setahun lebih sudah kita hidup dalam suasana darurat kesehatan. Apalagi kita tahu, bukan hanya di Indonesia saja yang merasakannya, tapi ini melanda seluruh masyarakat dunia. Maka nya begitu mendengar pelarangan mudik, warga memilih menyikapinya cukup dengan bercuap cuap di media sosial. Atau menggerutu di meja makan sambil nyantai di rumah, setelah berbuka puasa. “Kacau sekarang ini. Gara gara di India, eh. Kita yang kena getahnya,” celetuk seorang Bapak yang saban harinya menggantungkan nafkahnya dari kegiatan transportasi. Hal tersebut ia ungkapkan kepada Saya saat kebetulan berada di terminal antar daerah-untuk kawasan timur Kalbar, yang terletak seberang RSUD Soedarso.
Terlepas dari hiruk pikuk mudik tersebut, entahkah itu berupa gerutuan, protes terbuka atau ngomel dalam hati serta beraneka reaksi lainnya-termasuk ngumpet pulkam dalam mobil box dan rafid tes palsu, balik kampung itu, jujur diakui, tentu mengasyikan. Kalau boleh dibilang, Hari Raya adalah waktu libur paling istimewa.
Beberapa alasan dikemukakan para pemudik. Pertama dan yang utama, mereka hendak bertemu kedua orang tecinta yang berada di kampung halaman. Bukankah sorga itu ada di bawah telapak kaki ibu? Wajar bila sang anak menyambangi orang tuanya, bersimpuh dan memeluknya, sembari memohon ampunan dan mengharapkan ridha dari mereka.
Selain itu, lebaran adalah momen untuk bersilaturahmi dengan handai taulan. Saling berkunjung satu sama lain untuk saling maaf memaafkan. Karena kesalahan kepada sesama manusia hanya bisa terhapus bila ada pemaafan. Maka nya yang merasa memiliki kesalahan, wajib menghubungi pihak pihak yang telah dilukai. Sehingga menjadi sempurna ibadah puasa, mendapat pengampunan dari Sang Pencipta dan pemaafan dari sesama makhluk ciptaan-Nya.
Selain alasan tadi, yang pasti, lezatnya makanan atau juadah Idul Fitri, juga merupkan magnet yang juga luar biasa bagi mereka sehingga ingin pulang kampung. Kangen ketupat, lemang, lontong sayur, rendang, opor, kue lapis dan sebagainya. Semua hidangan tersebut mengundang selera dan yuummi.
Bahkan khusus untuk orang Sambas, dulu, seingat Saya, sewaktu siaran televisi Malaysia marak merambah menyebar luas ke daerah yang merupakan salah beranda nya Kalbar dan berandanya Indonesia ini, lagu lagu Idul Fitri yang disuguhkan tv negeri jiran cukup membuat suasana lebaran di masyarakat menjadi meriah.
Tembang “Balek Kampung” nya milik Almahrum Sudirman Arshad, misalnya. Selain akrab ditelinga, nyaris rerata anak muda Sambas era 80 an dan 90 an hafal dengan lagu yang dilantunkan biduan lagenda tersebut. “Balek kampong..o ho ho balek kampong. O Ho ho balek kampong. Hati riang.” Demikian diantara syair bait lagu yang populer tersebut. Selain dendang suka cita lebaran, tak sedikit juga lagu Idul Fitri ala negara tetangga yang melow sehingga mengusik hati dan membuat mata menjadi berkaca.
Pandemi memang telah merubah berbagai tatanan kehidupan manusia di muka bumi ini. Termasuklah dalam hal mudik berlebaran. Memang sekarang ini ada fasilitas ber VC ria melalui seluler. Tapi tetap sebagian besar menganggap tidak afdal rasanya kalau raga tak berada di kampung halaman tercinta, ada di samping kedua orang tua.
Oh iya. Biar tak terlalu larut akan kerinduan akan kampung halaman dikarenakan masih pandemi, ada baiknya untuk sementara Kita tak “terprovokasi” oleh penyanyi lagenda Malaysia Sudirman tadi. Bahkan malah menjadi elok bila bait lagunya diubah menjadi; “(Daan) Balik Kampong, (tapi) Hati (tetap) Riang.” He..he.
Selamat Menyambut Idul Fitri. Mohon Maaf Lahir dan Batin..!! **
(Penulis adalah biak Pemangkat dan bekerja di PonTV)
Artikel ini telah dibaca 3204 kali