JAKARTA, KBOke – Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu Arief Poyuono sepakat dengan ucapan menteri keuangan Sri Mulyani terkait BUMN yang jadi bancakan selama ini tak terkecuali di Telkom. Sebab, menurut Arif, pola bancakan tersebut dilakukan oleh pelaku dengan banyakk cara dan rapi hingga sulit dibuktikan dengan hukum tindak pidana korupsi.
“Namun ada kejanggalan dalam proses penjualan Simpatindo pada Tiphone. Sebelum membeli Simpatindo, terlebih dulu Tiphone menjual sahamnya sebanyak 25 persen pada anak perusahaan Telkom PT PINS dengan harga overvalued sebesar Rp saham. Padahal saham Tiphone yang berkode TELE tersebut sedang anjlok hingga kisaran mendekati Rp 600 / saham. Hingga hampir satu tahun lebih saham Tiphone tak kunjung naik melebihi harga yang sama dengan harga Tiphone yang dibeli oleh PINS,” paparnya.
Akan tetapi, ulas Arief, PINS Indonesia mengambil alih sebanyak 1,11 miliar (15 persen) saham Tiphone senilai Rp 876,7 miliar. Kata Arief, PINS Indonesia membeli saham Tiphone dari Boquete Group SA, Interventures Capital Ltd, PT Sinarmas Asset Management, dan Top Dollar Investment Ltd. Perjanjian jual-beli ditandatangani pada 11 September 2014.
“PINS membeli 10 persen saham Tiphone melalui penambahan modal tanpa hak memesan efek terlebih dahulu (non-HMETD), sebanyak 638,05 juta saham baru atau setara 10 persen melalui aksi non-HMETD pada 18 September 2014. Harga pelaksanaan non-preemptive rights tersebut sebesar Rp 812,2 per saham. Dengan demikian, PINS harus mengeluarkan dana sebesar Rp 518,23 miliar untuk menyerap saham baru Tiphone, hingga total pembelian 25% Saham,” tuturnya.
Bila ditinjau dari sisi kapitalisasi pasar TELE per 20 Mei 2014, yang nominalnya sebesar Rp 4,5 triliun, maka pembelian 10-25 persen saham TELE akan butuh biaya Rp 450-900 miliar.”Nah, dengan nilai investasi tersebut kemungkinan besar biaya akan dibiayai dengan kas. Soalnya, TLKM sendiri telah memberikan anggaran belanja modal tahun 2014 seperti yang dikutip dari media Bisnis.com, yakni sebesar Rp 22,3 triliun,” ungkapnya seraya mengatakan jika dihitung- hitung PINS yang membeli saham Tiphone mengalami opportunity lost hingga kisaran 300 milyar akibat membeli saham Tiphone.
Arief menambahkan, ternyata pembelian saham Tiphone oleh PINS terbukti merugikan sebab PINS ikut menanggung beban pokok Perseroan meningkat dari Rp3,82 triliun menjadi Rp5,92 triliun.”Dan beban usaha mengalami peningkatan dari Rp102,86 miliar menjadi Rp147,48 miliar, serta Beban keuangan mengalami peningkatan dari Rp47,69 miliar menjadi Rp84,43 miliar,” jelasnya.
Total aset Perseroan pada Q1 2016 mencapai Rp6,98 triliun, turun dari total aset tahun 2015 yaitu Rp7,13 triliun, dan total utang perseroan mengalami penurunan dari Rp4,31 triliun menjadi Rp4,06 triliun. Sementara untuk Telkom dampak pembelian saham Tiphone terhadap keuangan TLKM tidak akan menghasilkan perubahan yang signifikan malah cenderung rugi besar.
Kemudian kata Arief Poyuono, kerugian Telkom makin bertambah dengan dilepaskan PT Simpatindo yang merupakan anak perusahaan Telkom yang sehat dan kinerjanya sangat bagus pada PT. Tiphone hingga 99,5 persen kepemilikan saham dengan harga 500 miliar.” Itu sangat murah, dibayarkan dengan hasil dana penjualan Saham Tiphone kepada PINS,”cermatnya.
Ke depan, FSP BUMN Bersatu mendesak agar Kejaksaan Agung yang sedang menyidik penjualan Simpatindo pada Tiphone yang diindikasikan adanya praktek korupsi dan merugikan negara ‘tidak kempes’ di tengah jalan.






