KalbarOke.Com – Di tanah Pulau Kalimantan, kelapa sawit bukan hanya sekadar pohon yang berbaris rapi di perkebunan.
Ia adalah denyut hidup, nadi ekonomi, sekaligus sumber kontroversi. Ada cerita tentang petani kecil yang berpeluh menjaga kebunnya, berharap hasil panen bisa menyekolahkan anak-anak.
Ada pula kisah korporasi besar yang mengatur strategi, memastikan roda bisnis tetap berputar meski angin global berubah arah.
Namun, satu pertanyaan klasik selalu muncul, adakah jalan tengah antara keuntungan ekonomi dan kesejahteraan rakyat?
Itulah yang menjadi benang merah Borneo Forum ke-8, sebuah hajatan besar yang akan digelar di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, pada 21–22 Agustus 2025.
Forum ini bukan sekadar kumpul-kumpul para pengusaha sawit, melainkan wadah dialog antara rakyat, korporasi, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya.
Tema yang diusung kali ini cukup filosofis: “Harmonisasi Kemitraan untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional dan Tata Kelola Sawit yang Kondusif.”
Menyatukan Rakyat dan Korporasi
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) seKalimantan menjadi motor penggerak acara ini.
Seperti dijelaskan panitia, forum tahunan tersebut bertujuan membuka ruang diskusi terkait isu-isu terkini agroindustri sawit—mulai dari tantangan iklim investasi, regulasi, hingga peran sawit dalam menjaga ketahanan pangan nasional.
Kegiatan yang berlangsung selama dua hari ini dirancang bukan hanya untuk bicara serius dalam seminar, tetapi juga menghadirkan pameran, temu bisnis, hingga lomba konten kreatif.
Dengan format seperti itu, forum diharapkan lebih inklusif ada ruang untuk para pengusaha besar, ada panggung bagi petani kecil, dan ada wadah kreatif bagi generasi muda untuk melihat sawit dari sisi berbeda.
Target kehadiran 655 peserta menunjukkan skala dan bobot acara ini. Mereka datang dari lintas sektor kementerian, lembaga negara, pemerintah daerah, pengusaha, akademisi, organisasi petani, hingga lembaga adat.
Agenda Penting Borneo Forum ke-8
Agenda seminar menjadi menu utama. Beberapa topik yang siap digulirkan mencakup kebijakan dan strategi sektor pertanian dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional.
- Kemandirian energi berbasis agroindustri sawit, yang kini jadi isu strategis di tengah krisis energi global.
- Implementasi Perpres Nomor 16/2025 tentang Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan, sebagai pijakan baru bagi tata kelola sawit yang ramah lingkungan.
- Peran BPDP (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) dalam meningkatkan kapasitas SDM dan produktivitas kebun petani.
- Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) serta strategi optimalisasi lahan tumpangsari.
- Persoalan rantai pasok sawit, termasuk dualisme pabrik kelapa sawit (PKS) tanpa kebun dan keberadaan loading ramp TBS. Kolaborasi perusahaan, kebun, dan lembaga adat dalam mengatasi gangguan usaha.
- Pemanfaatan dana CSR untuk percepatan pembangunan ekonomi dan sosial masyarakat di wilayah perkebunan sawit.
Forum Strategis Rekomendasi
Para narasumber yang dijadwalkan hadir pun tidak sembarangan. Ada Menteri Pertanian RI, pejabat Kemenko Perekonomian, Dirjen Industri Agro Kemenperin, Dirut BPDP, Ketua Umum GAPKI, pejabat provinsi, kepala daerah, hingga akademisi dari Instiper Yogyakarta.
Kehadiran mereka menegaskan bahwa forum ini bukan hanya seremonial, tetapi forum strategis yang bisa menghasilkan rekomendasi nyata.
Kelapa sawit memang penyumbang devisa besar bagi negara. Bagi petani kecil, kelapa sawit adalah satu-satunya jalan keluar dari lingkaran kemiskinan.
Tetapi mereka sering terjebak dalam rantai pasok yang timpang. Harga tandan buah segar (TBS) jatuh, akses terbatas ke modal, dan lahan sempit membuat mereka sulit bersaing dengan perusahaan besar.
Forum ini, idealnya, bisa menghadirkan solusi konkret. Bukan hanya kebijakan makro di atas kertas, melainkan juga skema kemitraan yang benar-benar berpihak pada petani.
Bagaimana agar dana CSR benar-benar sampai ke masyarakat, bagaimana agar sertifikasi sawit berkelanjutan tidak hanya jadi beban administrasi, tetapi juga memberi nilai tambah nyata.
Kota Pontianak sebagai tuan rumah, bukan sekadar kota persinggahan. Ia adalah jantung Kalimantan Barat, wilayah yang tak bisa dipisahkan dari sejarah dan masa depan sawit.
Dari Kota Pontianak, suara-suara itu akan menggema suara pemerintah yang bicara tentang regulasi, suara pengusaha yang menuntut kepastian investasi, dan suara petani yang mendamba keadilan.
Borneo Forum ke-8 di Pontianak ibarat panggung besar. Dari sinilah publik menunggu, apakah benar harmonisasi bisa dicapai? Ataukah forum ini hanya akan jadi catatan indah dalam laporan tahunan?
Tata kelola sawit yang kondusif dan harmonis adalah dambaan semua pihak. Tapi mimpi itu tidak bisa dicapai hanya dengan forum, seminar, atau pameran.
Ia harus diwujudkan dalam tindakan nyata: regulasi yang tegas, kemitraan yang adil, dan kesadaran bersama bahwa sawit bukan hanya soal bisnis, tetapi juga soal manusia dan lingkungan.
Borneo Forum ke-8 hanyalah satu episode dalam perjalanan panjang itu. Namun, dari sinilah harapan dititipkan bahwa kelapa sawit Indonesia bisa menjadi contoh dunia industri kuat, rakyat sejahtera, dan alam lestari.***
Artikel ini telah dibaca 34 kali