KUBURAYA, KB1 – WAKTU lebih lama dibutuhkan Herwani Sanain (39 tahun) untuk menjual hasil panen. Gabah padinya tidak bisa langung digiling lantaran tidak bisa cepat mengering. Pengeringan yang biasa berlangung satu hari, kini membutuhkan waktu lebih lama lantaran faktor cuaca.
“Sekarang, dijemur selama dua hari pun belum tentu bisa kering dan siap digiling,” kata Petani di Desa Sungai Itik, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat ini.
Herwani, yang karib disapa Dewa ini pun cuma bisa merutuk karena tidak tahu siapa yang mesti disalahkan. Dia hanya tahu semua itu gara-gara kabut asap yang semakin pekat menyelimuti udara desanya sejak sebulan terakhir.
“Asap membuat sinar matahari terhalang, sehingga padi (gabah) tak bisa kering-kering,” tukasnya.
Herwani pun harus bersabar untuk menjual hasil panennya karena gabah tersebut tidak bisa langsung digiling menjadi beras. Karena waktu menjemur menjadi lama, dia pun harus lama antre di pabrik penggilingan beras. Itu artinya, peluang untuk menikmati keuntungan dari panen menjadi tertunda.
Kabut asap memang menambah beban ganda bagi petani di desa yang berada di Kecamatan Sungai Kakap tersebut. Sebelumnya mereka harus menghadapi dengan serangan tikus yang merusak padi. Serangan hama itu cenderung ganas dan meluas pada saat musim kemarau. Serangan dari hama lain juga tidak kalah mematikan.
Wereng dan walang sangit ialah dua di antara hama lain yang sering menyerang padi di Sungai Itik. Serangan itu mengakibatkan gabah menjadi hampa, dan tanaman pun mati kekeringan atau fuso.
“Walang sangit menyerang pada saat fase masak susu. Kalau gabah sudah mengeras, tidak mungkin diserangnya,” jelas Tris Haris Ramadhan, Ahli Hama dan Penyakit Tanaman dari Fakultas Pertanian, Universitas Tanjungpura, Pontianak.
Petani sepatutnya mengetahui waktu atau fase tanaman yang rentan diserang hama. Itu untuk memudahkan pengontrolan, juga pengendalian. Pengetahuan seperti ini belum banyak diketahui petani setempat, sehingga pengendalian yang dilakukan jauh dari efektif.
“Kami tidak tahu persis kapan mulai diserang, tahu-tahu beberapa tanaman sudah mati,” ujar Ramli (40 tahun) petani lainnya.
Pengendalian secara selektif juga harus diterapkan untuk mengoptimalkan penanggulangan hama dan penyakit. Petani jangan sampai asal semprot pestisida sehingga mengenai tanaman yang sehat. Pengendalian secara serampangan seperti itu justru memicu populasi dan meningkatkan serangan hama.
“Kalau seperti itu predator alami juga ikut mati, sehingga tidak ada lagi yang memakan hama-hama tersebut,” lanjut Tris saat berdiskusi dengan petani Sungai Itik, pertengahan September lalu.
Nelayan tak melaut
Tak hanya petani, nelayan di Kubu Raya juga dipusingkan oleh kabut asap. Produktivitas mereka menurun lantaran kabut asap menggangu jarak pandang. Nelayan tak berani jauh melaut karena berisiko terhadap keselamatan. Jam melaut pun menjadi berkurang karena menunggu jarak pandang membaik, dan menghindari terpapar kabut asap pekat.
“Kalau dituruti, sebenarnya kami tidak bisa melaut. Tapi, ini soal ‘periuk’ (nafkah), mau-tidak mau harus melaut,” kata nelayan di Sungaikupah, Kecamatan Sungaikakap, Usman Ali, (38 tahun).
Nelayan di Sungaikupah seharusnya bisa meraup untung besar karena saat ini musim rajungan dan udang wangkang. Sekali melaut mereka bisa membawa pulang sekitar 50 kilogram. Namun, pendapatan itu menurun hingga 50% dalam sebulan terakhir lantaran nelayan tidak bisa lama dan jauh melaut akibat kabut asap pekat.
“Karena jarak pandang hanya sekitar 20-50 meter, banyak juga pukat yang ditabrak oleh sesama nelayan,” jelas Usman.
Kondisi serupa juga dialami nelayan di Desa Olak Olak Kubu, Kecamatan Kubu. Nelayan setempat banyak yang bekerja serabutan lantaran hasil melaut tidak bisa diandalkan untuk menutupi kebutuhan sehar-hari.
“Kabut asap saat ini terparah sejak 1997. Jadi, nelayan yang biasa melaut hingga ke muara, kini hanya di sekitar sungai,” kata Kepala Desa Olak Olak Kubu Bambang Sudaryanto. (Re/01)