“Jatah Preman” dan “Tujuh Batang” Jadi Kode Kasus Korupsi Gubernur Riau Abdul Wahid

KPK mengungkap penggunaan kode “jatah preman” dan “tujuh batang” dalam kasus dugaan korupsi dan pemerasan Gubernur Riau Abdul Wahid. Foto: tangkapan layar YouTube PonTV

KalbarOKe.com – Kasus dugaan korupsi dan pemerasan yang menjerat Gubernur Riau Abdul Wahid semakin mengungkap praktik gelap di balik proyek pemerintahan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan penggunaan kode rahasia seperti “jatah preman” dan “tujuh batang” yang digunakan untuk menyamarkan transaksi suap dan pemerasan di lingkungan Dinas PUPR PKPP Provinsi Riau.

Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, menjelaskan bahwa kasus ini bermula dari pertemuan antara Sekretaris Dinas PUPR PKPP Riau, Ferry Yunanda, dengan enam Kepala UPT Jalan dan Jembatan. Dalam pertemuan tersebut dibahas permintaan fee dari Gubernur Riau Abdul Wahid terkait penambahan anggaran proyek infrastruktur di dinas tersebut.

Untuk menyamarkan praktik suap itu, para pejabat menggunakan dua istilah rahasia. “Istilah jatah preman digunakan untuk menyebut fee yang diminta Gubernur melalui Staf Ahli Dani M. Nursalam, sedangkan tujuh batang berarti nominal Rp7 miliar yang akan diberikan kepada Abdul Wahid,” jelas Johanis Tanak.

Baca :  Desakan Terhadap KPK: Status Gubernur Kalbar Ria Norsan dalam Dugaan Korupsi Proyek Jalan Mempawah Jadi Pertanyaan Publik

KPK menyebut, istilah tersebut dipakai dalam komunikasi antarpejabat untuk menghindari kecurigaan, termasuk dalam percakapan internal di Dinas PUPR PKPP Riau.

Sebelumnya, KPK menggelar Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang menjaring Abdul Wahid dan sembilan orang lainnya. Dalam OTT tersebut, penyidik turut menyita barang bukti uang tunai dalam bentuk rupiah dan mata uang asing senilai total Rp1,6 miliar.

Baca :  Kemenaker Kaji Rumusan UMP 2026, Serikat Buruh Desak Kenaikan Hingga 10,5 Persen

Selain Abdul Wahid, Kepala Dinas PUPR PKPP Muhammad Arief Setiawan dan Staf Ahli Gubernur Dani M. Nursalam juga telah ditetapkan sebagai tersangka. KPK menegaskan, penyidikan akan terus dikembangkan untuk menelusuri aliran dana dan pihak lain yang terlibat dalam kasus ini.

Kasus ini menambah daftar panjang kepala daerah yang terseret korupsi di Indonesia, sekaligus menjadi peringatan keras terhadap praktik penyalahgunaan kekuasaan di tingkat provinsi. (*/)