KalbarOke.com – Pengetatan pasokan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) kembali menjadi sorotan tajam pelaku industri. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan keprihatinan mendalam karena kebijakan pembatasan HGBT berpotensi menekan kinerja manufaktur nasional, menghambat investasi, hingga mengancam nasib ratusan ribu pekerja.
Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, mengungkapkan pihaknya menerima banyak keluhan dari industri pengguna gas bumi terkait mahalnya tarif dan berkurangnya pasokan. Padahal, harga HGBT sudah ditetapkan Presiden sebesar USD6,5 per MMBtu dengan jaminan pasokan.
“Seolah-olah ini menjadi masalah klasik yang terus berulang. Tidak seharusnya ada pihak yang menaikkan harga di atas USD6,5 atau membatasi pasokan, karena itu bertentangan dengan keputusan Presiden,” tegas Febri di Jakarta, Kamis 14 Agustus 2025.
Ancaman Serius bagi Industri Padat Energi
Kemenperin menilai keterbatasan pasokan gas dengan harga khusus akan berdampak langsung pada industri padat energi seperti keramik, kaca, baja, pupuk, petrokimia, dan oleokimia. Biaya energi yang membengkak otomatis menggerus margin keuntungan dan menurunkan utilisasi pabrik.
Data mencatat, utilisasi industri keramik nasional semester I-2025 hanya berkisar 70–71 persen, meski sedikit membaik dari tahun sebelumnya. Jika pasokan gas terus terhambat, capaian ini terancam kembali turun.
“Dampaknya bisa lebih luas, bahkan mengganggu program swasembada pangan Presiden Prabowo, karena industri pupuk bergantung pada suplai gas,” tambah Febri.
BUMN Dominasi Pasokan, Swasta Terpinggirkan
Menurut Kemenperin, dari kebutuhan gas industri sekitar 2.700 MMSCFD, hanya 1.600 MMSCFD yang dialokasikan dalam skema HGBT. Dari jumlah itu, separuhnya atau sekitar 900 MMSCFD lebih banyak dialirkan untuk BUMN seperti PLN dan Pupuk Indonesia.
“Industri swasta yang menjadi tulang punggung manufaktur nasional justru sering mendapat porsi lebih kecil. Ketimpangan ini tidak sehat bagi iklim usaha,” ungkap Febri.
Ancaman PHK Massal
Jika pasokan HGBT terus diketatkan hingga hanya 48 persen dari kebutuhan, maka 134.794 pekerja industri terancam kehilangan pekerjaan. Rinciannya: 10.420 pekerja industri pupuk, 23.006 pekerja industri petrokimia, 12.288 pekerja industri oleokimia, 31.434 pekerja industri baja, 43.058 pekerja industri keramik, 12.928 pekerja industri kaca serta 1.660 pekerja industri sarung tangan karet.
“Angka ini adalah alarm serius. Kebijakan HGBT harus memperhitungkan keberlangsungan usaha dan kesejahteraan keluarga pekerja,” tegas Febri.
Desakan Koordinasi Lintas Kementerian
Kemenperin mendorong adanya koordinasi segera antar kementerian dan lembaga agar distribusi HGBT berjalan adil bagi BUMN maupun swasta. Industri manufaktur, kata Febri, merupakan penyumbang terbesar PDB nonmigas sekaligus penyerap jutaan tenaga kerja.
“Jika masalah gas tidak segera diatasi, dampaknya bukan hanya pada investasi dan neraca perdagangan, tapi juga kesejahteraan masyarakat,” cemasnya. (*/)
Artikel ini telah dibaca 41 kali