KalbarOKe.com – Pagi itu, udara di Basecamp Permadi, Guci, Tegal, terasa menusuk tulang. Matahari baru saja menyapa, namun enam santri Pesantren Nihadlul Qulub sudah siap dengan ransel, jaket tebal, dan niat yang bulat. Bukan sekadar mendaki, mereka membawa misi: berzikir di atas awan Puncak Surono Gunung Slamet, puncak tertinggi kedua di Pulau Jawa.
Bagi mereka, pendakian ini bukan tentang menaklukkan alam, tapi menaklukkan diri. “Kami ingin membaca ayat-ayat Allah dari lembaran langit dan bumi,” kata Kyai Ali Sobirin, sang pemimpin ekspedisi, yang menyebut perjalanan ini sebagai Tadabbur Jibal — perenungan di pegunungan.
Langkah Demi Langkah, Napas Demi Napas
Jalur Permadi yang mereka pilih terkenal panjang dan menantang. Dari Basecamp menuju Pos 4, mereka menempuh empat etape: jalur landai untuk pemanasan, tanjakan awal yang mulai menguji napas, jalur datar untuk sejenak beristirahat, dan tanjakan panjang yang menguras stamina.
Setiap langkah adalah ujian. Setiap hembusan napas adalah doa. “Otot paha dan betis pegal, jantung berdegup kencang, napas tersengal. Tapi ada santri yang setiap kali berhenti langsung memijat, itu yang membuat saya kuat,” kenang Kyai Ali sambil tersenyum.
Subuh di Puncak
Jumat dini hari pukul 03.00 WIB, mereka memulai pendakian puncak. Gelap, dingin, dan sunyi. Hanya suara langkah kaki yang berpadu dengan desir angin gunung. Enam jam kemudian, mereka tiba di Puncak Surono.
Di sana, awan berarak di bawah kaki, lembah hijau terhampar luas, dan kawah belerang mengepulkan asap. Mereka mengibarkan bendera Merah Putih, meski sempat berencana membawa bendera bajak laut One Piece. “Hormat kami pada pahlawan membuat kami tetap mengibarkan bendera negara,” ujar Kyai Ali.
Lalu, mereka duduk melingkar, menundukkan kepala, dan berzikir. Suara mereka menyatu dengan desir angin, seolah seluruh alam ikut bertasbih.
Belajar dari Alam
Bagi Andar, santri asal Nabire, Papua Tengah, perjalanan ini adalah pelajaran tentang kelemahan manusia di hadapan Allah. “Setiap detak jantung, setiap rasa sakit, dan setiap pemandangan adalah pengingat bahwa kita tak berdaya tanpa-Nya,” ujarnya lirih.
Ekspedisi ini adalah bagian dari misi Pesantren Nihadlul Qulub untuk mendidik santri agar unggul di lima aspek: spiritual, intelektual, mental, fisikal, dan finansial.
“Mendaki gunung adalah strategi kami untuk mengasah mental dan fisik sekaligus menumbuhkan rasa syukur,” jelas Ali Sobirin El-Muannatsy, pengasuh pesantren yang juga penulis buku Teknologi Ruh.
Puncak yang Sebenarnya
Bagi para santri, puncak Gunung Slamet bukanlah tujuan akhir. Puncak yang sebenarnya adalah hati yang lapang, pikiran yang jernih, dan jiwa yang semakin dekat dengan Sang Pencipta.
Mereka pulang dengan wajah letih, kaki pegal, tapi hati penuh cahaya. Di pundak mereka, bukan hanya ransel yang dibawa turun, tetapi juga pelajaran hidup yang akan terus mereka bawa, sepanjang usia. (*/)
Artikel ini telah dibaca 15 kali