Sudah sejak lama kita mendengar dan mengetahui istilah “Generasi Muda adalah Tulang Punggung Suatu Bangsa”, “Generasi Muda adalah Penerus Bangsa” dan kalimat-kalimat senada lainnya. Kesemua ucapan tersebut memang benar adanya, karena telah menjadi sebuah keniscayaan bahwa generasi mudalah yang kelak akan meneruskan segala urusan-urusan yang kita tinggalkan.
Pada tulisan ini, istilah generasi muda akan lebih spesifik dengan merujuk kepada para siswa siswi, mulai dari jenjang tingkat dasar, tingkat menengah hingga tingkat tinggi. Karena pada sejatinya, mereka yang menuntut ilmulah yang kelak akan menduduki tampuk-tampuk kekuasaan di negeri ini.
Sebagaimana yang telah kita ketahui dan alami selama ini, bahwa di setiap jenjang pendidikan, dalam proses kegiatan belajar dan mengajar pasti akan ada sebuah tahapan proses yang disebut dengan Evaluasi. Tujuan dari dilaksanakannya proses evaluasi ini adalah untuk mengukur pemahaman, kemampuan dan ilmu para siswa terhadap materi ataupun pelajaran yang telah di sampaikan. Proses ini dituangkan dalam berbagai macam bentuk kegitan, baik itu berupa PR, penugasan, ulangan harian, ulangan semester sampai kepada Ujian Akhir.
Untuk dapat mengukur kemampuan ataupun kualitas siswa lewat proses eveluasi ini, tentu saja salah satu kriteria yang amat sangat penting adalah validitas, apakah jawaban yang siswa berikan memang benar-benar berasal dari kemampuan mereka sendiri. Maka, faktor kejujuran para siswa dalam melalui proses evaluasi ini akan sangat menentukan untuk mendapatkan hasil akhir yang valid.
Namun sayangnya, jika kita mengamati perilaku sebagian para siswa kita, akan menimbulkan kekhawatiran yang cukup besar. Penyakit “klasik” mencontek seakan-akan telah menjadi sebuah budaya, sesuatu yang biasa-biasa saja yang sudah lumrah, dan bahkan sebuah protap (prosedur tetap) bagi para siswa dalam melalui proses evaluasi ini. Mari kita berkaca pada pernyataan seseorang sekelas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, yang prihatin dengan Indeks Integritas atau tingkat kejujuran Ujian Nasional (UN) yang masih rendah. Bahkan ia menyebut, korupsi yang sekarang banyak terjadi, berawal dari tindakan contek-mencontek.
Perbuatan mencontek ini dilakukan dengan bebagai macam cara dan modus, mulai dari kode-kode jari, dengan lemparan catatan kertas kecil, menyembunyikan catatan bahkan ada yang berani terang terangan membuka buku. Parahnya lagi penyakit mencontek ini tidak mengenal gender, ia dapat terjadi pada siswa maupun siswi, dari yang perawakannya “sangar” hingga yang berperawakan rapi dan kalem, semuanya dapat terjangkiti.
Maka timbullah pertanyaan mengapa penyakit mencontek ini sangat sulit untuk disembuhkan? sehingga siapapun siswanya dapat terjangkiti oleh penyakit ini? Penyebab utamanya adalah karena para siswa tersebut menjadikan nilai sebagai sebuah orientasi belajar, sebagai sebuah tujuan, sebagai sebuah tolak ukur diri, bukan seberapa besar ilmu yang mereka peroleh.
Para siswa yang mencontek cenderung untuk tidak memperdulikan bahwa nilai tinggi yang mereka peroleh dari mencontek adalah sesuatu yang melangar aturan, seolah olah mereka telah kehilangan rasa malu dan rasa bersalah atas perbuatan curang tersebut, sehingga mereka menghalalkan segala cara untuk menguntungkan diri mereka sendiri, yaitu memperoleh nilai yang tinggi, meskipun dengan merugikan orang lain yang telah bersungguh sungguh belajar dan berusaha. Pada titik inilah terdapat persamaan yang sangat kental antara para siswa yang mencontek dengan para koruptor. Sebagaimana yang disampaikan oleh Fungsional KPK Deputi Pencegahan Direktorat Bidang Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat, Yudi Purnomo.Menurutnya, mencontek dalam ujian merupakan tindakan tak terpuji layaknya korupsi. “Mencontek adalah usaha untuk mendapatkan nilai yang bagus dengan cara yang curang. Sama halnya dengan koruptor yang menghalalkan cara untuk kaya, tapi dengan cara yang curang,” tegas Yudi.
Sehingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merasa perlu untuk memasukkan materi antimenyontek dalam kampanye antikorupsi di berbagai daerah. KPK menganggap menyontek adalah embrio perbuatan korupsi. ”Menyontek itu gambaran dari jalan pintas untuk meraih sesuatu. Anak yang gemar menggunakan jalan pintas akan memakai cara itu untuk hal lain di luar urusan sekolah,” papar Staf KPK Bidang Kampanye Sosial Dotty Rahmatiasih. Kebiasaan menyontek itu akan berkembang menjadi tindakan melanggar hukum, merugikan orang lain, hingga korupsi, yang sebenarnya tidak berguna apa pun bagi perkembangan anak. ”Kebiasaan menyontek itu akan merusak banyak hal,” lanjut alumnus Universitas Indonesia (UI), Jakarta, tersebut.
Kedua perbuatan ini baik mencontek maupun korupsi begitu marak terjadi, bahkan dilakukan secara massiv dan sistematis, para pelakunya kompak bekerjasama dan saling melindungi serta memberikan banyak alasan untuk tidak mengakui perbuatannya saat tertangkap basah, sehingga mereka tampak seperti orang orang yang “merasa benar dijalan yang sesat”. Semangat menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan untuk menguntungkan diri sendiri lalu menganggapnya sebagai hal yang lumrah inilah yang menjadikan seorang siswa sebagai calon koruptor kelak di masa mendatang, ketika mereka telah berkecimpung kedalam kehidupan bermasyarakat sebagai pribadi-pribadi yang mempunyai kekuasaan dan wewenang atas jabatan yang mereka sandang.
Untuk itu diperlukan usaha yang sinergis dan berkesinambungan dari berbagai pihak, utamanya dari lingkungan sehari hari tempat para siswa ini tumbuh dan berkembang, yaitu lingkungan keluarga dan sekolah. Para orang tua harus memberikan pengertian tentang tujuan dari mereka mengantar anak anak mereka kesekolah bukanlah untuk sekedar memperoleh nilai yang tinggi, akan tetapi untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan akhlak yang baik. Karena apa gunanya jika anak anak kita memperoleh nilai-nilai yang tinggi baik itu di raport maupun di ijazah mereka, akan tetapi itu tidak merepresentasikan ilmu pengetahuan mereka yang sesungguhnya, sungguh bukan sesuatu yang dapat dibanggakan.
Begitu pula dengan pihak sekolah, sekolah semestinya melakukan upaya-upaya yang nyata untuk mencegah terjadinya perbuatan perbuatan curang dalam pelaksanaan proses evaluasi, tidak mentoleransi siswa-siswa yang telah menjadikan mencontek sebagai sebuah tabiat. Jika kita amati dengan seksama, tidak adanya sanksi yang tegas dan berefek jera menjadi penyebab mengapa para koruptor dan para pencontek begitu leluasa dan merasa aman-aman saja dalam melakukan perbuatannya. Maka untuk mencegah terus tumbuh suburnya perbuatan korupsi, sudah selayaknyalah sekolah berpartisiasi untuk mencegahnya sejak dini, yaitu dengan memberikan sanksi yang tegas dan yang memberikan efek jera terhadap para siswa yang melakukan perbuatan mencontek tersebut.
Perbuatan korupsi harus dicegah sejak dini, ibarat sebuah pepatah populer, “Lebih baih mencegah daripada mengobati”. Semoga semua pihak semakin menyadari akan bahaya laten dari “penyakit” mencontek ini. Agar orang tua selalu berpesan kepada anaknya bahwa yang terpenting adalah ilmu pengetahuan yang harus mereka peroleh, bukan nilai. Pihak sekolah tegas dan nyata dalam mengikis perbuatan perbuatan curang dari para siswanya. Dan siswa itu sendiri, harus pula menyadari bahwa ilmu yang dimilikilah yang pada akhirnya nanti yang akan membentuk mereka menjadi pribadi pribadi terpuji di masa mendatang.
(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Pontianak Post Edisi Juni 2016)
Ditulis oleh Tan Hardimansyah, S.Pd
Guru Bahasa Inggris SMKN 1 Tebas
email: tanhardimansyah1987@gmail.com
Artikel ini telah dibaca 2663 kali