KalbarOke.Com – Nadi kehidupan masyarakat di Kecamatan Sejangkung, Kabupaten Sambas, kini tengah sekarat. Sungai Sambas, yang selama turun-temurun menjadi sumber air bersih untuk mandi, mencuci, dan kebutuhan pertanian, kini berubah keruh dan diselimuti bau amis logam. Dugaan kuat mengarah pada aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di wilayah hulu, tepatnya di Kecamatan Ledo, Kabupaten Bengkayang, yang diduga menjadi sumber pencemaran.
Sejak awal Juni 2025, air sungai yang biasanya jernih tiba-tiba berubah warna menjadi kuning pekat. Perubahan drastis ini menimbulkan keresahan di kalangan warga 12 desa di Kecamatan Sejangkung. Kekhawatiran mereka memuncak saat air sungai tidak lagi layak untuk dimasak atau bahkan diminum. Kondisi ini diperparah dengan meningkatnya kasus gatal dan iritasi kulit yang menjangkiti warga akibat nekat menggunakan air tercemar untuk mandi dan mencuci.
Gerakan Warga dan Respons Pemerintah yang Lamban
Warga Sejangkung tidak tinggal diam. Mereka bergerak cepat menyuarakan keresahan melalui media sosial, melayangkan surat, hingga mendatangi kantor DPRD Kabupaten Sambas. Suara mereka pun akhirnya sampai ke telinga pemerintah daerah. Pada 15 Juli 2025, Pemerintah Kabupaten Sambas secara resmi mengirimkan surat kepada Gubernur Kalimantan Barat untuk menindaklanjuti dugaan pencemaran ini.
Badan Kerja Sama Antar Desa (BKAD) Kecamatan Sejangkung bersama para kepala desa juga menggelar pertemuan dengan DPRD Sambas. Tiga keputusan penting dihasilkan, antara lain penyediaan layanan kesehatan bagi warga terdampak, komitmen DPRD untuk mengawal laporan ke tingkat provinsi, dan rencana audiensi dengan Polda Kalbar serta Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi.
Namun, langkah-langkah ini berjalan lamban. Hasil uji laboratorium terhadap sampel air dari tiga titik yang diambil pada 20 Juli 2025 belum juga keluar. Pertemuan dengan Dinas LHK Provinsi Kalbar justru buntu karena instansi tersebut menyatakan penertiban PETI bukan wewenang mereka. Puncaknya, pertemuan di Kantor Bupati Bengkayang pada 31 Juli 2025 pun belum menghasilkan solusi konkret.
“Semua pihak mengakui masalahnya besar, tetapi keberanian menindak para pelaku PETI seolah masih tersangkut di jaring kepentingan,” tulis laporan tersebut.
Dampak Nyata yang Lebih Dalam
Pencemaran Sungai Sambas meninggalkan luka yang jauh lebih dalam dari sekadar air keruh. Ada tiga dampak besar yang kini dirasakan masyarakat:
1. Dampak Kesehatan: Kasus penyakit kulit dan diare meningkat drastis. Kekhawatiran terbesar adalah paparan merkuri dan bahan kimia berbahaya lainnya yang diduga digunakan dalam proses PETI dan langsung dibuang ke sungai.
2. Dampak Lingkungan: Selain air yang tak layak konsumsi, populasi ikan menyusut dan ekosistem sungai mati. Biota sungai tidak bisa bertahan hidup di tengah pencemaran yang parah.
3. Dampak Sosial dan Ekonomi: Warga kini terpaksa membeli air bersih dengan harga mahal, membebani ekonomi, terutama bagi nelayan dan petani. Tradisi turun-temurun yang menjadikan sungai sebagai pusat aktivitas kini hilang.
Berdasarkan penelusuran, aktivitas PETI di Kecamatan Ledo, Kabupaten Bengkayang, menggunakan bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida. Limbah sisa penambangan ini diduga kuat dibuang langsung ke aliran sungai, mengalir hingga ke hilir dan menjadi sumber penderitaan bagi sepuluh desa di Sejangkung.
Menanti Ketegasan Aparat
Pencemaran Sungai Sambas menjadi ironi di tengah pidato kenegaraan Presiden Prabowo Subianto pada 16 Agustus 2025 yang menegaskan pentingnya penegakan hukum terhadap penambangan ilegal. Warga Sejangkung masih menunggu bukti nyata dari instruksi tersebut.
Harapan mereka sederhana: penindakan tegas terhadap pelaku PETI, investigasi lingkungan menyeluruh, pemulihan ekosistem sungai, dan jaminan kesehatan bagi warga terdampak.
“Pencemaran Sungai Sambas bukan hanya soal keruhnya air, tapi tentang keruhnya masa depan. Jika sungai mati, maka matilah kami sebagai penjaga bantaran ini,” ucap Ketua BKAD Kecamatan Sejangkung, Roi’e Ali, mengingatkan. (rls/01)