Teknologi Kampus Vs Teknologi Kampung

JAKARTA- Suatu hari saya dijemput seorang teman menuju sebuah kampung, dekat kawasan industri. Jaraknya sekitar 80 kilometer dari kota Semarang. Di bagian belakang sebuah rumah yang hampir rubuh dan kusam. Saya menyaksikan tumpukan besi, alat las, tabung besar elpiji dan beberapa tong berisi air.

Di sana saya diterima seorang “montir” genius yang berhasil membuat pembakaran super hemat energi. Lulusan sebuah akademi dari Jepang ini menunjukkan kepada saya teknologi yang terlihat sederhana, hasil eksperimen tiada henti selama 8 tahun. Menurut rekan saya dari Jepang, teknologi ini original, dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan.

Atas rekomendasi seseorang, ia diminta bertemu dengan saya. Karena tak mengerti teknologi, saya menghubungi teman-teman dari fakultas teknik, sejumlah fisikawan, dan ahli kimia. Seperti biasa, ilmuwan selalu menyangsikan temuan montir lapangan. Padahal energi ini merupakan proses fisika-kimia yang unik, yang bisa mengubah dunia.

“Secara fisika, itu mungkin, tetapi energi untuk membuat energi itu secara teoritik lebih besar,” ujar mereka.

Karena penasaran, saya merekam semua prosesnya. Saya lalu mengundang beberapa orang pengusaha. Respon yang berbeda saya dapatkan. Walau ada keragu-raguan, para insinyur pengusaha itu takjub dan mau memberi kesempatan.

Sang penemu yang tadinya loyo, kini seperti dapat suntikan energi baru. Dahlan Iskan yang saya tunjukkan temuannya malah memberi dorongan. Beberapa perusahaan asing ingin menjajaki kerjasama.

“Biasanya, ilmuwan selalu tidak percaya terhadap hal-hal seperti ini. Tetapi biarlah mereka mencoba, biasanya banyak kejutan,” ujar Menteri BUMN ini.

Proyek pengembangan energi baru ini kita mulai secara kecil- kecilan. Kami mempersiapkan segala urusan yang melengkapinya. Sewaktu saya tanya apa yang membuat ia mempercayakan temuan itu kepada saya, mereka cuma menjawab singkat: Kami ingin ikut membangun negeri namun butuh pemeriksaan scientific-nya. “Iya, tapi mengapa harus ke saya?” Sambil tersenyum mereka hanya berujar singkat, “Ini sebuah amanah.”

Kampung dan Kampus

Apa yang diamanahkan “montir” kampung itu mungkin tidak keren bagi kebanyakan ilmuwan kampus. Tapi, seperti kata mendiang Deng Xiaoping, bagi saya tidak penting, mau dia berwarna hitam atau putih, selama dia bisa menangkap tikus itulah kucing yang kita cari.

Saya jadi ingat kedatangan seorang ibu rumah tangga yang gemar mengolah herbal dari bahan alami ke Rumah Perubahan. Dengan semangat ia menunjukkan produk barunya yang mampu meluruhkan kolesterol, dan satunya lagi menurunkan gula darah.

Sebagai wirausaha sosial yang gigih, bersama suaminya yang dulu bekerja di Astra, mereka telah menolong banyak orang. Tetapi secara scientific jelas masih jauh. Mereka hanya tahu bagaimana mendapatkan ijin dari Badan POM, mengurus berbagai sertifikat, dan membuat kemasan yang bagus.

Mereka lalu dibantu oleh ilmuwan-ilmuwan LIPI dan sejumlah dokter muda yang memberi masukan pribadi secara gratis. Boleh dibilang produknya memberi banyak harapan pada yang mulai putus asa dalam berobat. Orang tua saya termasuk orang yang mengakui manfaatnya.

Lantas bagaimana sikap kampus?

Sikap sebagian dari mereka, maaf, justru berkebalikan. Bukannya pujian atau kegairahan membawa temuan itu ke dalam studi laboratorium, mereka malah memberikan sinisme. Alih-alih mempersoalkan kebenaran ilmiah, mereka justru menggunakan ayat-ayat agama untuk mendebat proses fermentasi yang terkandung dari produk itu.

Lalu ketika si ibu tadi, dengan bantuan teman-teman dokternya berhasil memasukkan kajiannya pada sebuah jurnal ilmiah, mereka kembali menyerang. “Itu jurnal abal-abal,” katanya.

Sayangnya, tak banyak ilmuwan kampus yang mengerti bahwa bagi seorang pengusaha kecil, melakukan kajian ilmiah amat meletihkan dan mahal. Seorang teman yang berhasil membuat air embun misalnya, mengeluarkan Rp 1 miliar – Rp 3 miliar untuk membiayai eksperimen kampus dengan melibatkan 90 orang responden (pasien) dari sebuah rumah sakit.

Bagi kampus, eksperimen seperti itu di era saat ini telah lebih banyak dilihat sebagai proyek yang bisa menambah penghasilan. Tetapi bagi pengusaha kecil, bila kajiannya positif dan dipublikasi secara ilmiah, dapat menjadi jembatan emas menuju masa depan.

Setelah itu, masih banyak perjuangan yang harus mereka tempuh untuk “menaklukkan pasar”. Maklum, para distributor dan retailer lebih senang menjual barang-barang yang sudah dikenal, yang turn over-nya tinggi, dan memberikan mereka insentif yang memadai.

Sementara itu, objektif para peneliti bukanlah mengembangkan teknologi, melainkan publikasi ilmiah.

Tacit dan Eksplisit

Di sini ada masalah, antara tacit knowledge (yang didapat dari latihan dan praktik) dengan explicit knowledge (yang bisa dicatat, dibukukan). Maka, kini ada dua bandul yang saling berhadap-hadapan. Satu bandul dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan kampung melalui ketrampilan tacit-nya, yang menjadi teknopreneur, namun berhenti begitu produk ditemukan dan dikomersialkan secara terbatas. Dan satunya lagi oleh ilmuwan-ilmuwan kampus yang juga berhenti pada publikasi ilmiah sebelum menjadi teknologi.

Ini tentu berbeda dengan kondisi di negara-negara industri dimana kampus telah menjadi jembatan kokoh dalam mendukung kemajuan industri dan ilmu pengetahuan itu sendiri. Orientasi kampus kelas dunia itu bukan sekedar publikasi, melainkan impak. Bukan paper, melainkan paten, lisensi, teknopreneurship, dan kegiatan usaha.

Di kampus-kampus ternama di dunia, Anda akan menemukan Campus Technology Transfer Office, unit penggerak utama student entrepreneurship yang didorong oleh negara dan kampus agar menjadi alat bagi tumbuhnya proses transfer teknologi dan pembangunan ekonomi. Unit ini juga menjadi alat penting untuk membawa hasil riset ke pasar.

Tak usah jauh- jauh, di Thailand saja kita mudah mendapatkan kampus serupa yang mentransfer temuan-temuan baru dalam bidang pertanian. Bahkan pada tataran tertentu kita juga temukan di IPB.

Mereka bukan cuma sibuk meneliti, melainkan mengkaji temuan dari dunia tacit ke dalam dunia explisit, lalu bersama-sama mengurus patentability dan marketability-nya. Di University of Missouri Colombia saja, 33,3 persen dari pendapatan universitasnya berasal dari uang transfer karya-karya cipta teknologinya.

Lantas bagaimana perguruan tinggi Indonesia mau maju kalau mahasiswanya tidak dijadikan teknopreneur? Adalah biasa kita saksikan mahasiswa yang belajar ilmu kimia atau teknik, justru menjadi wirausahawan kuliner jajanan pasar yang bertarung melawan ekonomi rakyat di kaki lima. Sementara teknologi yang seharusnya bisa kita buat sendiri terus menerus didatangkan dari luar negri.

Bagaimana menjembatani ilmuwan-ilmuwan tacit yang tangannya gatal dan hanya berhenti di produk akhir dengan ilmuwan-ilmuwan kampus yang hanya berhenti di publikasi ilmiah saja? Keduanya juga saling berjauhan, bahkan tidak berkomunikasi. Ini jelas pekerjaan rumah bagi para pemimpin kampus, peneliti, dan tentu bagi menteri pendidikan tinggi dan riset yang bulan depan sudah harus mulai bekerja. Kita perlu merombak cara berpikir, membuat platform kewirausahaan baru bagi kaum muda, dan melakukan terobosan.(kompas.com)

Facebook Comments

Artikel ini telah dibaca 2064 kali