KalbarOke.com – Upaya menjaga kelestarian sumber daya alam Kalimantan Barat semakin mendapat perhatian serius. Dalam Workshop Kolase Jurnalis Camp (KJC) 2025 yang digelar di Kampung Caping, Pontianak, Sabtu 23 Agustus, tiga lembaga berbeda menyatakan komitmennya untuk memperkuat konservasi hutan, laut, sekaligus keterbukaan informasi publik.
Ketua Yayasan WeBe Konservasi Ketapang, Saiful Akbar Kusumardana, menegaskan fokus lembaganya adalah penyelamatan satwa laut dilindungi, terutama dugong dan penyu. Sejak awal berdiri, WeBe berangkat dari komunitas penyelam yang sering menemukan kasus kematian satwa laut. Pada 2020, tim WeBe berhasil menyelamatkan satu dugong hidup di Pulau Sepeda, Kendawangan, yang menjadi bukti keberadaan spesies tersebut di Kalbar.
Namun, ancaman tetap tinggi. Data WeBe menunjukkan pada 2024 saja empat dugong mati dalam kurun tiga bulan akibat plastik, jaring, maupun salah konsumsi. “Apa pun yang kita lakukan di darat akan bermuara ke laut. Selama masih ada anggapan laut terpisah dari daratan, kerusakan akan terus terjadi,” tegas Saiful.
Selain konservasi, WeBe kini mengembangkan program WIATA (Wira Wisata Katulistiwa) untuk mendorong desa pesisir membangun wisata bahari berbasis konservasi. “Jika dikelola dengan baik, pariwisata bisa jadi tulang punggung ekonomi masyarakat sekaligus menjaga kelestarian laut,” ujarnya.
Di bidang tata kelola informasi, Komisioner Komisi Informasi (KI) Kalbar, Lufti Faurusal Hasan, menekankan pentingnya keterbukaan sesuai amanah UU No. 14 Tahun 2008. Menurutnya, desa juga termasuk badan publik sehingga wajib membuka informasi terkait anggaran, aset, hingga dokumen lingkungan. “Jika permintaan informasi tidak dijawab, pemohon bisa membawa sengketa ke KI, dan akan diputus melalui sidang terbuka,” jelas Lufti.
Ia menyebut jumlah sengketa informasi di Kalbar relatif kecil, hanya 5–20 kasus per tahun, sebagian besar terkait data lahan. “Tahun lalu hanya sembilan perkara, tahun ini baru lima hingga Agustus,” tambahnya.
Sementara itu, Founder dan Direktur PRCF Indonesia, Imanul Huda, menekankan bahwa konservasi hutan harus sejalan dengan pemberdayaan masyarakat. PRCF (Perkumpulan Konservasi Sumber Daya Alam) sejak 2000 telah mendampingi masyarakat di Kapuas Hulu, serta di Sumatera Utara yang fokus pada habitat orangutan Tapanuli.
PRCF mendorong masyarakat melakukan patroli hutan dengan aplikasi digital, mendata flora-fauna, serta mengembangkan usaha alternatif seperti madu hutan, kratom, dan wisata alam. Sebagian keuntungan dialokasikan untuk pendidikan anak-anak. “Tidak mudah bersaing dengan keuntungan dari tambang emas. Tapi dengan komitmen, masyarakat bisa menjaga hutan sekaligus sejahtera,” tegas Imanul.
Kehadiran tiga lembaga ini di KJC 2025 menunjukkan bahwa konservasi di Kalbar tidak hanya berbicara soal lingkungan, tetapi juga hak masyarakat atas informasi, partisipasi, dan sumber penghidupan berkelanjutan. (*/)
Artikel ini telah dibaca 52 kali