KalbarOke.com — Ribuan suara bergema dari pelataran Candi Borobudur, menyatu dalam harmoni suci. Dalam keheningan pagi yang diselimuti kabut Magelang, lantunan ayat-ayat Tipitaka mengalun khusyuk, menandai dibukanya Indonesia Tipitaka Chanting (ITC) 2025, sebuah perhelatan spiritual yang telah menjelma menjadi simbol kebersamaan, kebijaksanaan, dan kontribusi nyata umat Buddha bagi bangsa.
Diselenggarakan pada 4–6 Juli di kompleks Candi Borobudur, acara ini tidak hanya menjadi ritual pembacaan kitab suci, tetapi juga menjadi panggung bagi nilai-nilai luhur keagamaan yang memperkuat karakter bangsa.
Dalam sambutan pembukaannya, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Kementerian Agama RI, Supriyadi, menegaskan pentingnya ITC sebagai bagian dari pembangunan spiritual dan sosial Indonesia.
“Ini bukan sekadar warisan spiritual. Pembacaan Tipitaka adalah bentuk komitmen umat Buddha dalam memperkuat pondasi moral bangsa dan memperdalam pemahaman akan ajaran luhur,” tegasnya di Taman Lumbini, kompleks Borobudur, Jumat 4 Juli 2025.
Menghidupkan Nilai Dhamma di Tengah Masyarakat
Dengan semangat Āsālha Mahāpūjā tahun 2569 BE, ITC 2025 mengajak umat untuk tidak hanya membaca, tetapi juga menghidupi Dhamma—ajaran yang mengajarkan cinta kasih, kebijaksanaan, dan ketenangan dalam menghadapi gejolak zaman.
“Seperti sabda Sang Buddha, Dhammo have rakkhati dhammacāriṁ — Dhamma akan melindungi mereka yang hidup sesuai Dhamma,” ujar Supriyadi, seraya mengajak umat menjadikan pembacaan Tipitaka sebagai kebiasaan harian, baik di rumah, sekolah, tempat ibadah, hingga ruang publik.
Ia pun menyerukan sebuah gerakan sederhana namun penuh makna: “Satu ayat sehari sebagai cahaya hidup.” Sebuah ajakan untuk menumbuhkan kebijaksanaan melalui rutinitas spiritual yang reflektif.
Ribuan Umat, Satu Suara, Satu Tujuan
ITC 2025 mencatatkan partisipasi lebih dari 2.000 umat Buddha dari dalam dan luar negeri, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Australia, Thailand, Myanmar, Kamboja, Sri Lanka, Malaysia, dan Singapura. Sejak pertama kali digelar pada 2015, minat terhadap acara ini terus meningkat.
Puncak acara akan berlangsung pada Minggu 6 Juli, dengan puja yatra dari Candi Mendut menuju Taman Lumbini yang diikuti sekitar 9.000 peserta, serta prosesi pradaksina di pelataran Stupa Borobudur—sebuah ritual suci mengelilingi candi sambil melafalkan ayat-ayat suci dengan penuh ketulusan.
Merawat Kebhinekaan, Merajut Kedamaian
Ketua Panitia ITC 2025, Bhikkhu Guttadhammo Mahathera, menyebut bahwa kegiatan ini bukan hanya perayaan spiritual, tapi juga simbol perjumpaan lintas budaya dan negara, memperlihatkan wajah Indonesia yang ramah, terbuka, dan menjunjung tinggi toleransi.
“Dari chanting bersama ini, lahir sinergi. Dari sinergi, tumbuh persaudaraan. Dan dari persaudaraan, terbentang jalan menuju Indonesia yang damai dan harmonis,” ujarnya.
ITC bukan hanya milik umat Buddha. Ia telah menjadi peristiwa budaya dan kebangsaan, menegaskan bahwa spiritualitas bisa menjadi jalan untuk menyatukan perbedaan dan membangun masa depan yang lebih arif.
Dari Candi Borobudur, suara Tipitaka kembali menggema. Tak hanya menembus langit, tetapi juga menyentuh hati—mengajarkan bahwa dalam lantunan ayat-ayat suci, tersimpan kekuatan untuk memperkokoh bangsa. (*/)
Artikel ini telah dibaca 64 kali