Indeks

Islamic Center Sam(bas)pit

Foto Udara Sampit Isalmic Center, Kotim. Foto : Screenshot Raja Drone Id

Keberadaannya cukup mencuri perhatian bagi mereka yang berkunjung ke Sampit. Berdiri megah di hamparan yang luas di kawasan perkotaan. Di depan terpampang nama kompleknya; Sampit Islamic Centre.

Pembangunan kawasan yang diresmikan lima tahun lalu ini, tentu mengisyaratkan pesan yang tegas. Melalui simbol peradaban, Kotawaringin Timur,  salah satu kabupaten di Kalimantan Tengah ini, seolah hendak menunjukan jati dirinya, baik kepada warganya sendiri maupun masyarakat luar. Ada masjid, asrama haji, perpustakaan, dan bangunan lainnya berdiri dalam sebuah komplek yang luasnya hektaran tersebut.

Tak ingin berlama memuji Kotawaringin Timur, pikiran Saya lantas menerawang menuju ke Sambas yang kebetulan namanya nyaris mirip sama tiga huruf di depannya dengan ibukota Kabupaten Kotawaringin Timur yaitu Sam-pit. Ehmmm. Bukan itu sebenarnya. Setidaknya keduanya, Sambas dan Sampit sama sama berada di daerah level kabupaten, dan kebetulan di pulau yang sama pula, dan atau mungkin juga (lagi lagi kebetulan) ada beberapa kesamaan lainnya baik dalam aspek sosial, ekonomi dan lainnya.

Namun yang pasti, sebenarnya bukan lah hal kesamaan tadi-sedemikian rupa dimiripkan, yang mengusik. Melainkan  julukan ‘Serambi Mekah’ yang pernah disandang Sambas, sebagai salah satu aset Kalbar dan juga Indonesia, setidaknya patut untuk menjadi renungan.

Julukan atau stempel Serambi Mekah yang pernah disandang Sambas, tak lain adalah bukti keberhasilan di era Kesultanan dulu.  Sultan telah berhasil membangun brand melalui simbol peradaban; istana berikut masjid Jami di dalam komplek pusat kerajaan berdiri megah di zamannya kala itu. Buah kerja keras dan kerja cerdas Sultan membuat Sambas terkenal di seantero nusantara.

Sejarah peradaban masyarakat dunia memang akan selalu rapi mencatat. Bangunan fisik salah satu yang menjadi pesan peradaban. Bukan hanya di era kerajaan masa lampau, memasuki abad modern juga sama.  Lihatlah Istiqlal, Monas dan gedung parlemen Senayan kita, harus diakui itu sebagai potret karya besar Soekarno. Mahathir di Malaysia seolah tak ingin ketinggalan mengukir sejarah di eranya melalui menara Petronasnya, serta banyak lagi pemimpin tangguh lainnya meninggalkan karya besar di kala berkuasa.

Nah, kembali lagi ke Sambas, Saya teringat, pernah membisikan harapan kepada Bang Pabali Musa yang ketika itu usai terpilih sebagai Wakil Bupati berpasangan dengan Bupati Ibu Juliarti sekitar tahun 2010. “Bangunlah Bang masjid terbesar di Kalbar di Sambas.”  Ketika itu kalau tidak salah Saya, masjid Mujahidin Pontianak belum rampung dibangun.

Sebagai daerah yang punya sejarah panjang kerajaan Islam nya, membangun masjid megah di Sambas tentu bukanlah suatu yang berlebihan. “Boleh juga nantek ye kite bangun (masjid megah). Biar dibiayai Pemda, masjid dibangun di depan kantor Bupati,” ujar Bang Pabali.

Karena sudah lama mengimpikan kehadiran masjid megah di Sambas, akhirnya Saya merasa lega kala itu. Dengan pola multiyears (penganggaran beberapa tahun di APBD) pembangunannya, rampung lah bangunan dalam lima tahun. Begitu Saya bergumam sendiri usai berbincang dengan Wakil Bupati yang waktu itu belum dilantik. Sebagai dosen mata kuliah agama Islam ketika Saya kuliah, sering mengikuti ceramah dan beberapa tulisan serta pemikiran Beliau, visi besar yang dimiliki Bang Pabali membuat Saya yakin akan impian membangun simbol peradaban tadi terwujud.

Waktu berlalu dan hari pun berganti. Saya juga khilaf untuk bertanya kepada Bang Pabali tentang “titipan” tadi. Eh, akhirnya lima tahun berjalan sudah. Era pemerintahan kepemimpian Bang Pabali pun berakhir, namun masjid megah tadi belum juga hadir.

Kehadiran Bupati Atbah ditahun 2015 usai mendapat mandat lebih dari 50 persen suara ketika itu dari masyarakat Kabupaten Sambas melalui Pemilukada, Saya kembali memperoleh secercah harapan akan hadirnya simbol peradaban Islam yang mumpuni di Sambas. Dengan latar belakang pendidikan Pak Atbah yang alumnus Madinah, kian menambah keyakinan tersebut. Namun, lagi lagi waktu berlalu dan hari berganti. Tanpa terasa, kini memasuki tahun ke lima kepemimpinan Pak Atbah dan Ibu Hairiah, belum juga muncul simbol peradaban yang diimpikan.

Nah, kehadiran tahun baru Hijriyah pada 1 Muharram 1442 ini, hendaknya menjadi momentum. Momentum bagi kita semua untuk bertafakur sejenak.

Muharram adalah semangat. Semangat untuk kita bersama membangun kembali peradaban Islam di Sambas sebagaimana yang telah berhasil dilakukan para pendahulu kita di masa lalu di zaman Kesultanan, baik berupa simbol maupun praktik keseharian di masyarakat.

Dan sesuai namanya, Islam. Kehadiran Islam di muka bumi ini adalah untuk membawa pesan kebaikan, kedamaian dan kemaslahatan kepada semua makhluk yang ada di jagat alam semesta.

Selamat Tahun Baru 1 Muharram 1442 H. Mohon maaf lahir dan batin.** (Penulis adalah biak Pemangkat  dan bekerja di PonTV)

Facebook Comments

Artikel ini telah dibaca 6890 kali

Exit mobile version