Pesta Demokrasi. Sering kita menyebutnya begitu. Secara formal di konstitusi negara; Pemilu. Pemilihan Umum. Hajatannya digelar secara periodik. Limatahun sekali. Dalam waktu tertentu, periode jadwal dapat berubah. Misalnya pasca reformasi 1998. Padahal baru saja Pemilu dihelat di tahun 1997. Lantas kemudian, digelar lagi Pemilu dua tahun berikutnya di 1999. Lebih cepat.
Artinya, kalau dilihat perjalanan Pemilu, jadwalnya bisa tentatif juga sebenarnya. Secara formal terjadwal di konstitusi lima tahun sekali. Tapi bila mengacu dari sejarah republik ini, meski Indonesia dideklarasikan pada 17 Agustus tahun 1945, kita baru 12 kali mengelar Pemilu. Ketika orde lama satu kali, orde baru enam kali, dan era reformasi sudah lima kali. Paling lama molor yaitu sejak yang pertama tahun 1955. Itupun karena ada kemelut di dalam negeri. Maka nya kalau ada suara untuk memolorkan pelaksanaan Pemilu, bila mengacu pada sejarah bangsa ini, kita punya pengalaman untuk itu sebenarnya. He..he..he.
Oke. Ya, anggaplah semua berjalan normal. Kita di era reformasi ini juga sama “suksesnya” dalam melaksanakan periodesasi Pemilu seperti di era orde baru. Lima tahun sekali. Nah, tentu fokus kita adalah bagaimana agar pesta demokrasi ini terlaksana dengan sukses. Berkualitas proses dan hasilnya.
Tapi, namanya juga kompetisi. Bisa dibayangkan, ada suatu even pemilihan, dengan melibatkan ratusan juta pemilih dan ribuan kontestan. Pasti penuh hiruk pikuk. Ramai. Heboh. Setiap kontestan tentu berupaya semaksimal mungkin agar dia berhasil. Begitu pun sang pemegang suara. Karena banyaknya “deman” permintaan, wajar agak jumawa dan jual mahal. Lantas, maka terjadilah interaksi antara kontestan dengan pemilik suara. Ada lobi lobi, labi labi, kecap kecap dan sebagainya. Dan agar lebih tertib, aturan permainan pun dihadirkan biar sportif.
Meski aturan main Pemilu sudah jelas tertuang dalam regulasi. Lalu diikuti dengan dibentuknya lembaga pengawasan mulai tingkat pusat, propinsi, kabupaten kota, kecamatan, desa, hingga di tiap tempat pemungutan suara juga. Namun tetap saja dalam setiap Pemilu, kita dihebohkan dengan beraneka pelanggaran. Baik yang berupa fakta temuan formal hingga diproses atau diadili dengan pelakunya melibatkan penyelenggara Pemilu, kontestan dan pemilik suara. Termasuklah kabar penyimpangan yang hanya berupa bisik bisik tetangga; ada serangan fajar, amplop bertebaran, utak atik suara di rekapan dan sebagainya.
Seiring pelaksanaan Pemilu yang sudah kesekian kali, terjadinya pelanggaran di setiap kali Pemilu dan pola praktik curangnya juga tak mustahil akan ikut bermetamorfosis. Semakin canggih dan sistematis. Dan menyikapi kondisi tersebut, apapun situasinya, seharusnya tak membuat kita berkesimpulan bias dan menjadi apatis. “Memang sudah begitu adanya.” Terlebih lagi, jangan sampai menganggapnya sebagai hal yang biasa dan lalu kemudian menutup mata.
Ikhtiar untuk mendudukan Pemilu ke fitrahnya: langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, harus terus kencang dilakukan. Karena kita masih tetap beryakinan, bangsa yang beradab pasti memiliki peradaban demokrasi yang mumpuni.
Bicara pelanggaran Pemilu, kita sebaiknya jeli dalam memberikan persepsi. Dengan sedikitnya temuan pelanggaran tak otomatis menjadi indikasi bahwa Pemilu yang baik atau ideal telah terlaksana. Bahkan justeru sebaliknya, kerja kerja pengawasan dalam even kompetisi besar tersebut yang perlu untuk ditelusuri.
Oh iya, Saya teringat, sekitar empat atau lima tahun lalu, pernah diundang diacara yang di situ hadir lembaga pengawas pemilu propinsi, kabupaten kota dan juga media di Kalbar. Sebagai salah satu perwakilan institusi media, saya hanya senyum senyum, mendengar paparan dari sejumlah pejabat pengawas kabupaten kota, bahwa daerah wilayah kerja mereka aman terkendali, relasi mereka baik dengan kpu dan pemerintah maupun stakeholder setempat.
Mendiagnosa kinerja lembaga pengawas sebenarnya simpel. Sama seperti Media, yang salah satu fungsinya yaitu melakukan kontrol. Bila ada media di suatu tempat yang kontennya adem ayem, kata mantan Ketua Dewan Pers Atmakusuma dalam suatu kesempatan, maka patut diduga media tersebut telah berselingkuh. Patut untuk dicurigai dan ditelisik. Jangan jangan, media tersebut sudah tak lagi berperan sebagai watch dog, tapi menjelma menjadi funy dog. Kikikikik.
Seiring waktu yang terus berjalan. Jarum jam terus berputar. Bila tak ada aral melintang, maka Pemilu akan segera digelar dalam waktu kurang lebih duabelas bulan lagi kedepan, tahun 2024. Dan kita sudah terlanjur “menchalange” diri, bukan hanya mengelar Pemilu legislatif dan pilpres, ditahun yang sama juga akan menggelar Pemilukada se Indonesia.
Kunci sukses pelaksanaan Pemilu tak lain dan tak bukan adalah dengan berpegang pada fitrah di perhelatan pesta demokrasi itu sendiri; yaitu jujur dan adil. Karena kalau tidak, Pemilu ‘serentak nasional’ akan menjelma menjadi ‘kemelut nasional’.
Sejumlah kehebohan dan desas desus adanya ketidakberesan dalam proses penentuan partai politik peserta Pemilu 2024, sebagaimana kita saksikan dipenghujung 2022 kemarin, setidaknya menjadi warning. Betapa kinerja profesional penyelenggara Pemilu adalah suatu yang mutlak. Jangan sampai tatanan demokrasi yang sudah susah payah kita bangun di era reformasi memjadi berantakan hanya karena kepentingan sesaat.
Semua kita tentu merasa bertanggung jawab dan berkepentingan akan suksesnya perhelatan Pemilu 2024. Even besar ini diharapkan menjadi gerbang untuk menghadirkan para pemimpin terbaik dan sekaligus menunjukan kualitas berdemokrasi kita kepada khalayak internasional. Dan, atau, ya, minimal, sukses Pemilu kali ini, akan menepis mitos tentang siklus babak di Indonesia terjadi di setiap enam kali Pemilu. Ehmmmm..!!** (Penulis adalah warga Kalbar dan bekerja di media)
Artikel ini telah dibaca 2835 kali