Indeks

Pulau Pengikik: Sebuah Warisan Kolonial yang Mencabik Kedaulatan Kalimantan Barat

Suara Tegas Sultan Pontianak dan Tuntutan Konstitusional

Syarif Melvin Alkadrie, Sultan Pontianak ke IX dan Anggota DPD RI.

KalbarOke.Com – Pulau Pengikik. Namanya mungkin asing bagi sebagian orang, namun kini menjadi pusat polemik sengit antara Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Kepulauan Riau. Sebuah “kontrak kolonial” berusia 168 tahun tiba-tiba mencuat, mengancam untuk merenggut pulau yang secara historis dan hukum adalah bagian tak terpisahkan dari Kalbar.

Syarif Melvin Alkadrie, Sultan Pontianak Ke IX sekaligus Anggota DPD RI Dapil Kalimantan Barat, berdiri teguh. Dengan lantang ia menyatakan bahwa kontrak kolonial Belanda tahun 1857 itu tidak sah secara hukum dan sama sekali tak berdasar untuk dijadikan patokan penegasan wilayah di Indonesia merdeka.

Permasalahan ini berakar pada Pasal 20 ayat (8) Perda Kabupaten Bintan No. 19 Tahun 2007, yang secara mengejutkan menyebut Pulau Datok sebagai batas wilayah Kecamatan Tambelan. Implikasinya? Pulau Pengikik seolah-olah ‘dicoret’ dari peta Kalimantan Barat. Dugaan kuat, pencantuman ini merujuk pada sejarah kolonial yang sejatinya sudah gugur kekuatannya, sekaligus mengabaikan prinsip penetapan batas wilayah berdasarkan perundang-undangan NKRI.

Mengapa Perda Bintan Bermasalah Secara Hukum?

Sultan Melvin menguraikan empat pokok permasalahan hukum dalam Perda Kabupaten Bintan No. 19 Tahun 2007:

1. Melawan Prinsip Penegasan Wilayah Nasional: Batas wilayah negara tidak boleh lagi merujuk pada dokumen kuno kolonial seperti “onderhoorigheden” atau peta Hindia Belanda. Penunjukan Pulau Datok tanpa peta resmi dari BIG (Badan Informasi Geospasial) atau rujukan UU/Permendagri, berpotensi cacat hukum.
2. Penetapan Sepihak yang Melanggar Otonomi Daerah: Dalam sistem otonomi, penentuan batas wilayah antarprovinsi harus melalui mekanisme Kemendagri, bukan dengan Perda kabupaten/kota. Ini adalah pelanggaran wewenang.
3. Dokumen Kolonial Telah Gugur: Kontrak 1857 sudah kehilangan kekuatan hukumnya sejak Kesultanan Riau-Lingga dibubarkan Belanda pada 1911. Artinya, dokumen tersebut tidak memiliki posisi hukum sama sekali dalam kerangka hukum positif Indonesia saat ini.
4. Cacat Wewenang dan Prosedural: Perda Bintan ini terang-terangan melanggar prinsip lex superior derogat legi inferiori (peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang lebih rendah), serta bertentangan dengan UU No. 23 Tahun 2014, UU No. 9 Tahun 2022, dan Permendagri No. 141 Tahun 2017.

Secara historis, Pulau Pengikik adalah bagian integral dari wilayah niaga dan yurisdiksi Kesultanan Pontianak. Ia juga termasuk dalam Afdeeling Westerafdeeling van Borneo sebelum akhirnya bergabung dalam struktur Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB), yang diakui dalam Protokol Hukum Internasional 21 Desember 1949 dan Pengakuan Kedaulatan RI 27 Desember 1949.

Dokumen internasional ini secara jelas menegaskan batas awal wilayah Kalimantan Barat sebelum Provinsi Kepulauan Riau terbentuk pada tahun 2002. Oleh karena itu, klaim sepihak atas Pulau Pengikik oleh Kabupaten Bintan tidak memiliki dasar hukum maupun legitimasi sejarah yang kuat.

“Saya, Syarif Melvin Alkadrie Sultan Pontianak Ke IX dan Anggota DPD RI, menolak keras penggunaan dokumen kontrak kolonial 1857 sebagai dasar hukum batas wilayah antara Kabupaten Bintan dan Kalimantan Barat, khususnya terkait Pulau Pengikik,” tegas Sultan Melvin. “Kami menegaskan bahwa Pulau Pengikik adalah bagian sah dari wilayah Provinsi Kalimantan Barat, dan tidak dapat dilepaskan dari konteks hukum nasional dan sejarah hukum adat Kalimantan Barat.”

Untuk menyelesaikan polemik ini, beberapa rekomendasi dan tuntutan konstitusional telah diajukan:

• DPD RI harus segera menggelar sidang dengar pendapat dengan Kemendagri dan BIG.
• Pembentukan Tim Kajian Khusus Nasional yang melibatkan ahli hukum, sejarah, geospasial, dan tokoh adat.
• Pemerintah Pusat wajib menyusun kebijakan nasional untuk menghapus warisan batas kolonial yang bertentangan dengan integritas NKRI.
• Permintaan revisi data wilayah administrasi nasional oleh BIG, jika terbukti terdapat penyelundupan norma dan cacat prosedural.
• Pengajuan judicial review terhadap Perda Kabupaten Bintan No. 19 Tahun 2007 ke Mahkamah Agung.

Polemik ini juga mendapat perhatian serius dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Wakil Gubernur Krisantus Kurniawan menyatakan akan menempuh jalur hukum jika terbukti Pulau Pengikik secara historis dan administratif adalah milik Kalbar. Ini sejalan dengan prinsip uti possidetis juris, yaitu pengakuan batas administratif saat negara merdeka sebagai batas resmi wilayah.

Pulau Pengikik adalah bagian tak terpisahkan dari Kalimantan Barat, baik dari sisi sejarah, hukum adat, maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penegasan batas wilayah harus tunduk pada UUD 1945, UU pembentukan provinsi, Permendagri, dan dokumen sah negara lainnya. Tidak boleh ada satu pun daerah yang menetapkan wilayah secara sepihak dengan berdasar pada dokumen warisan penjajahan. Ini adalah pertarungan untuk menegakkan kedaulatan dan sejarah. (aw/01)

Facebook Comments

Artikel ini telah dibaca 50 kali

Exit mobile version