KalbarOke.com – Di tengah ancaman krisis iklim global, Kementerian Pekerjaan Umum (Kementerian PU) mengambil langkah progresif dengan mempercepat penerapan Bangunan Gedung Hijau (BGH) sebagai solusi konkret untuk menekan emisi karbon sektor konstruksi dan properti. Langkah ini menjadi bagian integral dari Strategi PU 608, yang mengincar efisiensi investasi serta pertumbuhan ekonomi rendah karbon.
“ICOR bukan hanya angka. Itu cermin dari seberapa efektif investasi kita menghasilkan pertumbuhan yang berkelanjutan,” ujar Menteri PU Dody Hanggodo dalam pernyataan resminya. Ia menekankan bahwa strategi pembangunan tak lagi hanya soal infrastruktur megah, tetapi juga soal dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan efisiensi modal.
Apa itu Bangunan Gedung Hijau (BGH)?
Bangunan hijau (green building) adalah bangunan yang dirancang, dibangun, dioperasikan, dan dipelihara dengan mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan efisiensi sumber daya. Bangunan hijau bertujuan untuk meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan dan meningkatkan kualitas hidup penghuninya.
Bangunan hijau merupakan solusi penting untuk pembangunan berkelanjutan, yang tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan tetapi juga bagi penghuninya dan masyarakat secara luas. Dengan menerapkan prinsip-prinsip bangunan hijau, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih baik untuk masa depan.
Gedung Jadi Penyumbang, Kini Harus Jadi Solusi
Sektor bangunan dan konstruksi diketahui menyumbang sekitar 37 persen emisi CO₂ global, menurut laporan Global Status Report for Buildings and Construction 2022 dari UNEP. Emisi tersebut bersumber dari konsumsi energi operasional bangunan dan produksi material seperti semen serta baja.
Wakil Menteri PU, Diana Kusumastuti, menegaskan bahwa kondisi tersebut tak bisa dibiarkan berlanjut. “Infrastruktur harus menjadi bagian dari solusi, bukan masalah. Gedung hijau adalah langkah nyata menuju pembangunan yang ramah iklim,” ujarnya dalam forum strategis di Jakarta, Sabtu 5 Juli 2025.
Indonesia sendiri menargetkan penurunan emisi karbon hingga 43,2 persen pada 2030 dengan dukungan internasional. Untuk itu, Kementerian PU telah mengatur standar teknis Bangunan Gedung Hijau dan Bangunan Gedung Cerdas melalui PP No. 16/2021 dan Permen PUPR No. 21/2021, yang kini menjadi acuan penting bagi para pengembang.
Standar Baru, Mindset Baru
Bangunan hijau wajib memenuhi efisiensi energi minimal 25 persen dan konservasi air setidaknya 10 persen. Tak hanya pada tahap operasional, prinsip ramah lingkungan juga harus diterapkan sejak perencanaan hingga konstruksi.
Wamen Diana menyoroti dua pendekatan penting:
Operational Carbon: dikurangi dengan perilaku hemat energi dan adopsi energi terbarukan.
Embodied Carbon: ditekan lewat prinsip lean construction dan pemanfaatan material lokal.
“Teknologi seperti Building Information Modelling (BIM) menjadi kunci implementasi bangunan hijau yang presisi dan efisien,” tambahnya.
Ajak Kolaborasi Industri Properti
Transformasi menuju bangunan rendah karbon tidak bisa dilakukan sendirian. Kementerian PU menggandeng pemangku kepentingan lintas sektor, termasuk Indonesia Property Management Association (IPMA), untuk membangun ekosistem bangunan hijau yang tangguh, adaptif, dan kompetitif.
Kebijakan ini juga menjadi wujud nyata komitmen Indonesia terhadap Paris Agreement, yang telah diratifikasi lewat UU No. 16 Tahun 2016, dan membawa visi Indonesia menuju ekonomi hijau yang inklusif.
Bangunan hijau bukan hanya tren, tapi kebutuhan zaman. Dengan inovasi, regulasi yang berpihak pada lingkungan, dan sinergi antar pemangku kepentingan, Indonesia sedang membuka jalan menuju kota-kota yang lebih sehat, efisien, dan berkelanjutan. (r*)
Artikel ini telah dibaca 42 kali