KalbarOke.Com – Jantung diskusi masa depan jurnalisme berdetak kencang di hari kedua konferensi regional CTRL+J APAC 2025. Digelar oleh Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan International Fund for Public Interest Media (IFPIM), ajang tiga hari yang berlangsung di Hotel Le Meridien, Jakarta ini menjadi wadah krusial bagi jurnalis, pegiat media, akademisi, dan praktisi teknologi digital dari seluruh Asia-Pasifik untuk merumuskan standar jurnalisme berkualitas di tengah gempuran Kecerdasan Buatan (AI).
Jurnalisme di Tangan ‘Newsfluencer’ dan Kritisnya Bias Data AI
Sesi panel “Preparing the Future: The State of Play in APAC” membuka mata para peserta tentang adaptasi jurnalisme di era digital. Salah satu bintangnya adalah Jacque Manabat, jurnalis multimedia dari Filipina. Jacque membagikan pengalamannya sebagai “newsfluencer” – seorang influencer yang piawai menyampaikan berita terkini melalui platform media sosial seperti TikTok. Meski tampil kekinian, Jacque menegaskan komitmennya pada esensi jurnalistik: “Kami masih melakukan pekerjaan dengan metode jurnalistik, hanya saja dengan bentuk penceritaan yang berbeda.” Ia tetap menjunjung tinggi pengecekan fakta, verifikasi yang disiplin, dan kepatuhan pada Kode Etik Jurnalistik.
Namun, di tengah euforia adaptasi, muncul nada kritis dari Irendra Radjawali, peneliti dari Kyoto University, Jepang. Ia menyoroti potensi bias data dalam AI. “Data yang dimasukkan ke dalam AI sangat bias karena sebagian besar dibuat oleh programmer kulit putih dan Barat, jadi sebenarnya tidak lengkap dan serba tahu seperti yang kita asumsikan,” ungkap Irendra, mengingatkan akan pentingnya keadilan dan representasi dalam pengembangan AI.
Perjuangan Media Mendapatkan Kompensasi dan Ancaman Regulasi Digital
Diskusi kemudian bergeser ke ranah ekonomi media dalam panel “Preparing the Future: Compensation Strategies.” Nelson Yap, Wakil Ketua Public Interest Publishers Alliance Australia (PIPA), memaparkan realitas pahit namun menjanjikan di negaranya. “Jurnalisme adalah infrastruktur publik yang sangat penting dan pemerintah Australia mengakui hal ini,” ujarnya. Buktinya, pada 2025, pemerintah Australia menggelontorkan dana hibah sebesar $99 juta untuk organisasi berita selama tiga tahun – sebuah langkah signifikan untuk keberlanjutan media.
Lebih jauh, Australia berinisiatif meluncurkan program tawar-menawar berita (news bargaining code), yang mewajibkan raksasa teknologi seperti Google dan Meta untuk bernegosiasi dengan penerbit berita. Nelson mencontohkan kasus di Kanada, di mana perusahaan teknologi memblokir konten berita. “News Bargaining Initiatives mendorong platform digital untuk masuk atau memperbarui kesepakatan dengan penerbit berita,” jelasnya. Namun, ini bukan tanpa tantangan. “Amerika mengancam akan memberlakukan tarif tambahan atau tarif yang lebih tinggi di Australia karena kami mengatur teknologi, sementara perusahaan-perusahaan teknologi menjarah organisasi-organisasi berita di Australia,” imbuhnya, menggambarkan tarik ulur kepentingan yang kompleks.
Menjembatani Kesenjangan Bahasa dan Melindungi Konten di Era AI
Panel “Preparing the Future: Amplifying Diverse Voice and Addressing the Language Barrier in AI” menyoroti peran AI dalam menjangkau audiens yang lebih luas. Shalini Joshi, Program Director for Training and Network Meedan, menjelaskan bahwa pemeriksa fakta bertenaga AI kini tersedia dalam 31 bahasa di Asia, sebuah terobosan untuk membantu media dan organisasi sipil memperluas jangkauan artikel.
Yang tak kalah menarik adalah presentasi Dr. Leslie Teo, Senior Director of AI Product dari AI IG, yang memperkenalkan LLM SEA-Lion. Model bahasa besar ini secara spesifik berfokus pada bahasa-bahasa di Asia Tenggara, termasuk bahasa lokal seperti Jawa dan Ambon. Senada, Ayu Purwarianti, peneliti AI Center ITB, memaparkan proyek Nusa Dialogue. Inisiatif ITB ini bertujuan mendokumentasikan bahasa-bahasa daerah di Indonesia dengan sumber data langsung dari penutur asli, sebuah langkah fundamental untuk melestarikan kekayaan linguistik di era digital.
Strategi Publisher dan Perlindungan Konten di Tengah Agresi Bot AI
Sesi terakhir, “Preparing for the Future: Publisher’ Preparedness and Engagement Strategy in the Era of AI,” membahas kesiapan penerbit media. Sergio Spagnuolo, Executive Director of Nucleo Jornalismo dari Brasil, mengungkapkan hasil riset mengejutkan: Indonesia dan Brasil memiliki kebijakan AI yang sangat permisif, dengan hanya 5-6 persen situs web media yang memblokir setidaknya satu agen AI dalam file robot.txt mereka. “Sementara itu, proporsinya 35 persen di Amerika Serikat,” katanya, menyoroti kerentanan media lokal terhadap web scraping oleh AI. Ia menjanjikan solusi: “Kami akan segera merilis sebuah alat untuk penerbit menghasilkan file robot.txt Anda sendiri, untuk membantu Anda memblokir bot apapun yang ingin Anda blokir.”
Sementara itu, Matt Prewitt, President of RadicalxChange Foundation, menekankan urgensi perlindungan konten. Jurnalis, katanya, harus memastikan semua materi yang mereka produksi terlindungi dan menyiapkan perizinan sesuai dengan kedalaman data yang digunakan. “Mereka harus mengumpulkan kekuatan untuk bernegosiasi dengan perusahaan teknologi dalam hal akses AI dan bagaimana informasi dapat dibagikan,” tegasnya. Peringatan kerasnya jelas: “Tidak mengontrol akses terhadap konten Anda akan mengakibatkan penurunan dukungan pasar lebih lanjut untuk organisasi media.”
CTRL+J APAC 2025 menjadi pengingat penting bahwa di tengah gelombang inovasi AI, masa depan jurnalisme akan ditentukan oleh adaptasi cerdas, kesadaran akan bias data, perjuangan untuk kompensasi yang adil, dan perlindungan konten yang tak tergoyahkan. (aw/01)
Artikel ini telah dibaca 58 kali