Penyembuh Trauma Gagal Panen

SINTANG, KB1 – KEMARAU memberikan berkah bagi petani cabai di Desa Pakak, Kabupaten Sintang. Jualan mereka laris manis dan harganya juga terkerek naik. Cabai yang biasa dihargai paling tinggi Rp10 ribu, bisa melonjak hingga menjadi Rp70 ribu per kilogram.

“Stok cabai di pasar langka, sehingga harganya jadi mahal,” kata Suprianus Anam.

Lelaki 31 tahun ini ialah seorang petani cabai yang kini beralih profesi menjadi pengepul. Jarak sekira 83 kilometer pun ditempuhnya setiap hari. Dengan menggunakan sepeda motor, Anam mengangkut 100-300 kilogram cabai untuk dipasarkan ke Kota Sintang.

“Setiap hari pasti ada yang panen, dan kemudian cabainya saya beli untuk dijual lagi ke pasar di Sintang,” ujar Anam.

Pakak merupakan satu di antara desa utama penghasil cabai di Sintang. Tidak kurang 2 ton cabai segar setiap dipasarkan dari desa yang berada di Kecamatan Kayan Hilir ini. Petani bersemangat membudidayakan cabai lantaran harganya relatif stabil, bahkan cenderung melonjak pada waktu-waktu tertentu.

Perawatan cabai juga dinilai murah dan praktis. Tanam itu bisa tumbuh subur di lahan bekas ladang, bahkan lahan kritis berbatu. Petani pun tidak perlu bersusah payah membuat bedengan atau menggemburkan lahan yang hendak ditanami cabai.

Baca :  Bakso Sapi Bakmi Ayam 68, Tempat Yang Wajib Kamu Singgahi Jika Ke Kota Singkawang

Mereka juga tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli pupuk dan pestisida. Petani cukup memanfaatkan bahan-bahan alam untuk menyuburkan lahan dan mengendalikan hama serta penyakit tanaman.

“Kami pakai labu kayu (maja) untuk  memupuk tanaman,” ujar Victorinus Bosio (30), petani cabai di Desa Pakak.

Sebelum digunakan, daging buah maja itu dipermentasi dalam larutan selama tiga minggu. Pelarut dalam larutan air kelapa, cucian beras, dan urin manusia. Adapun untuk pestisida bisa menggunakan larutan akar tuba, kunyit, daun sirsak, atau tetumbuhan yang tidak disenangi hama. Air dari hasil gerusan bahan organik terebut kemudian dicampur tembakau.

““Sebagai perekat bahan-bahan tersebut, kami gunakan dua sendok deterjen,” lanjut alumnus Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura itu.

Bangkit setelah gagal panen

Cabai mulai dibudidayakan di Pakak sekitar 10 tahun lalu, setelah desa ini dilanda gagal panen padi akibat serangan belalang kembara. Hama tersebut rakus melahap padi hingga hanya menyisakan secuil batang kering dan menghitam di ladang. Beberapa petani pun memutar otak agar asap dapur tetap mengepul.

Baca :  Bakso Sapi Bakmi Ayam 68, Tempat Yang Wajib Kamu Singgahi Jika Ke Kota Singkawang

Budi daya cabai kemudian menjadi pilihan mereka karena tanaman ini dianggap aman dari serangan belalang kembara. Sejak saat itu, petani setempat pun beramai-ramai mengganti tanaman mereka dengan cabai. Perlahan namun pasti, keuntungan pun mengalir dari lahan di perbukitan bekas ladang padi tersebut.

Lantaran menguntungkan, Apademus Kancau yang sebelumnya menggarap lahan cabai milik orang tuanya pun memberanikan diri menggarap lahan sendiri. Seperti di lahan sebelumnya, cabai yang dibudidayakannya juga tumbuh subur. Lembaran rupiah pun mengalir ke kantongnya setiap kali cabai dipanen.

“Panennya setiap dua minggu. Sekali panen bisa dapat 50 kilogram cabai,” ujar petani berusia 28 tahun itu.

Dari hasil panen di lahan seluar seperempat hektar tersebut, Kancau bisa mengantongi minimal 700 ribu sebulan. Dia tidak pernah membayangkan cabai bisa menghidupi dan membiayainya berkuliah di Sintang. Cabai pun mampu mengobati trauma gagal panen yang diderita ratusan petani di Pakak sekitar 10 tahun silam. (Re/01)

Facebook Comments

Artikel ini telah dibaca 1934 kali