SUKADANA, KB1 – KULIT Jengkol kini menjadi mainan Muhammad Nur (47). Petani di Desa Benawai Agung, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Kayong Utara itu kerap memanfaatkannya untuk bahan pestisida tanaman.
Nur mencampur kulit jengkol bersama buah maja, akar tuba, bawang putih, dan tembakau untuk mengatasi serangan hama padi. Sudah hampir lima tahun, dia mempraktikan pertanian organik tersebut di lahan sawahnya. Nur juga memanfaatkan bahan-bahan alami sebagai pupuk tanaman.
“Saya menggunakan pupuk cair yang terbuat dari larutan air kelapa muda, batang pisang dan gula pasir,” katanya beberapa waktu lalu.
Selain pupuk cair, Ketua Kelompok Tani Harapan Baru tersebut juga menggunakan pupuk padat untuk menyuburkan lahan padi. Bahan-bahannya pun berasal dari lingkungan sekitar, yakni kotoran sapi yang difermentasi bersama sekam dan jerami padi. Selain itu, juga dicampur dedak, batang pisang, serta kapur dolomit.
Bakteri pengurai untuk fermentasi tersebut dibiakan sendiri dari campuran bahan alami. Bahan alami itu, antara lain busukan batang pisang, dedak, terasi, dan gula pasir. Penggunaan pupuk dan pestisida alami ini terbukti mampu meningkatkan produktivitas lahan dan tanaman.
Hasil panen memang kurang lebih sama dengan padi yang menggunakan pupuk dan herbisida kimia. Tapi, keuntungan yang diperoleh lebih tinggi lantaran petani tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk membeli pupuk dan pestisida.
“Selain mahal, pupuk kimia juga sering langka,” ujar Arifin, 47, petani di Desa Pangkalan Buton, Kecamatan Sukadana, yang juga mempraktikan pertanian organik.
Petani di Kayong Utara mulai mengenal pertanian organik sejak tujuh tahun terakhir. Praktik ini bermula dari para petani binaan Yayasan Alam Sehat Lestari (Asri). Yayasan Asri adalah LSM di Kayong Utara, yang bergerak di bidang kesehatan dan konservasi. Sekarang ada 250 petani dari 10 kelompok tani di Kayong Utara yang menerapkan pertanian organik.
Ramah lingkungan
Pertanian organik adalah pola pertanian yang mengandalkan bahan alami dalam mengolah lahan dan merawat tanaman. Karena tidak menggunakan bahan-bahan kimia, pertanian organik relatif tidak mencemari lingkungan sekitar. Sebaliknya, praktik ini justru merawat dan melestarikan sumber daya alam.
Limbah pertanian organik berupa sisa-sisa tanaman yang membusuk itu dapat meningkatkan kesuburan tanah. Hasil panennya juga lebih bermanfaat bagi kesehatan konsumen karena tidak terpapar residu pestisida. Itu sebabnya, pertanian organik dikategorikan sebagai pertanian berkelanjutan karena pengolahannya tidak merusak lingkungan.
“Keselamatan petani pun terjamin karena aman dari ancaman dampak penggunaan pestisida terhadap kesehatan,” jelas Koordinator Pertanian Berkelanjutan Yayasan Asri Miftah Zam Achid.
Pertanian organik diharapkan dapat memupus ketergantungan petani terhadap penggunaan pupuk dan pestisida kimia. Itu lantaran penggunaan bahan kimia secara terus-menerus dapat memengaruhi tekstur dan tingkat kesuburan tanah. Lapisan tanah akan memadat sehingga sulit dipenetrasi oleh akar tanaman dan menghambat penyerapan air.
Keasaman tanah juga meningkat akibat akumulasi kandungan nitrogen dan fosfor. Jasad-jasad renik penyubur tanah pun mati akibat penggunaan pupuk kimia yang tidak terkendali. Sementara itu, populasi hama bakal cenderung meningkat karena pestisida kimia bisa ikut mematikan predator alami.
“Pertanian organik itu memadukan konsep konservasi dan aspek kesehatan,” tukas Miftah.
Dia mengakui pengembangan pertanian organik di Kayong Utara belum optimal. Selain masih dalam skala kecil, praktik ini juga belum didukung oleh sarana irigasi memadai. Itu sebabnya, hasil pertanian organik masih tidak berbeda jauh dengan pertanian yang mengandalkan pupuk dan pestisida kimia.
Komoditas dari pertanian organik juga belum populer di kalangan konsumen, dan masyarakat luas. Produk yang ramah lingkungan dan terjamin kesehatannya itu masih dihargai sama dengan produk sejenis yang dihasilkan dari pertanian anorganik.
“Ke depan, kami juga ingin membuka akses pasar khusus untuk memasarkan produk pertanian organik dari Kayong Utara,” pungkas Miftah. (Re/01)
Artikel ini telah dibaca 1907 kali