Ketika persoalan sampah tidak selesai dengan imbauan atau menyediakan tong sampah, para perempuan di Kelurahan Siantan Tengah, Kecamatan Pontianak Utara justru belajar mengorganisasikan diri mendirikan Bank Sampah ‘Wahana Bersama.” Sampah dari rumah tangga warga bisa disetor dan langsung masuk ke rekening buku tabungan. Bagaimana ceritanya?
“Kita sudah punya Bank Sampah?” kata seorang ibu rumah tangga. “Kenapa masih ada warga membuang sampah di sungai? Jika hanya bisa menabung sampah sebanyak yang biasa warga setor, bagaimana cara mengolah sampah sebanyak itu?”
Diskusi berjalan riuh ketika lima orang sore itu duduk santai di kursi jati, di sebuah rumah warga, yang diapit pada gang sempit dan padat penduduk, Kecamatan Pontianak Utara. Lebih tepatnya di gang Usaha Bersama Satu, Jalan Selat Sumba, Kelurahan Siantan Tengah.
Empat diantaranya perempuan. Mereka mengadakan pertemuan antar sesama para ibu rumah tangga. Pertemuan rutin bulanan itu diisi dengan perbincangan sejumlah masalah yang mereka hadapi dan kadang mempelajari hal-hal baru. Seperti memanfaatkan bahan baku sampah dari setoran warga, kemudian menciptakan inovasi bentuk baru berupa kerajinan tangan yang tepat guna.
“Kami selalu mempelajari hal-hal baru,” kata Sarofah. Ibu rumah tangga ini adalah ketua Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Cahaya Maju, Kelurahan Siantan Tengah, sekaligus tuan rumah dalam pertemuan itu.
Mereka yang hadir dalam pertemuan itu, semuanya para kader yang memiliki kepedulian lebih menjaga kebersihan lingkungan sekitar. Satu hal yang mempersamakan mereka: mereka sama-sama tinggal di lingkungan padat penduduk dan kesadaran warganya membuang sampah sembarangan terbilang tinggi.
Selama tiga tahun ini, KSM pimpinan Sarofah belajar mengorganisasikan diri dan mencari jalan keluar mengatasi persoalan sampah di daerah mereka. Mereka pun kemudian mendirikan Bank Sampah “Wahana Bersama.” Kegiatan mereka didukung oleh lembaga Wahana Visi Indonesia mitra dari World Vision Indonesia. Dalam program ini, lembaga ini melibatkan komunitas masyarakat pecinta lingkungan.
”Tujuan utama Bank sampah kami adalah mendorong terciptanya lingkungan yang bersih. Tapi juga menciptakan ekonomi produktif. Pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan warga,” kata, Sarofah. ”Jika ekonomi membaik, mereka tentu bersemangat lagi menjaga kebersihan lingkungan sekitar,” tambahnya.
Gagasan membentuk Bank Sampah ini berawal dari kebiasaan buruk warga Jalan Selat Samba yang sering membuang sampah di sungai. Anggapan warga, begitu kantong plastik berisi sampah rumah tangga di lempar ke sungai, sampah tersebut bisa hanyut terbawa arus dan limbah sampah pun tidak terlihat menumpuk.
“Padahal cara mereka salah,” kata Sarofah.
Begitu air sungai surut, sampah yang warga buang tadi justru menumpuk. Banyak sampah nyangkut di tiang jamban milik warga. Yang terjadi, begitu warga yang memanfaatkan air sungai untuk mandi, sebagian dari mereka sering mengeluhkan gatal-gatal di bagian badan, tangan dan kaki.
Puluhan tahun sejak kemerdekaan, penduduk satu rukun warga Selat Sumba hidup dengan kesulitan air bersih. Mereka mandi, mencuci, dan berak masih mengandalkan sumber air dari Sungai Pekong. Sungai ini bermuara langsung dengan Sungai Kapuas, yang dikenal sebagai sungai terpanjang di Indonesia.
Pemberian nama Sungai Pekong dari warga sekitar, karena di ujung sungai terdapat bangunan Pekong, merupakan tempat peribadatan bagi warga Tionghoa beragama Konghucu. Di bagian kiri-kanan bahu sungai ini diapit langsung pemukiman warga padat penduduk mayoritas warga Tionghoa.
Sesungguhnya, di daerah ini sama sekali belum tersedianya tempat pembuangan sampah sementara atau TPS. Mobil truk pengangkut sampah milik Dinas Kebersihan kota Pontianak, selama ini hanya menjangkau di pusat kecamatan Pontianak Utara. Lebih tepatnya di Pasar Siantan atau berjarak 500 meter dari Jalan Selat Sumba.
Petugas kelurahan sebenarnya sudah sering kali mengimbau warganya agar tidak membuang sampah di sungai. Beberapa tong sampah juga sudah ditempatkan di lokasi strategis pemukiman warga. Hasilnya sama saja. “Toh sampah yang ada di tempat sampah juga kembali dibuang ke sungai,” kata Sumarli, warga lainnya.
“Selama ini bentuk pemahaman yang diberikan warga agar tidak membuang sampah sembarangan bukan barang baru,” kata Sarofah lagi. Karena di bangku sekolah dasar sekalipun, para guru sudah seringkali memberikan pendidikan menjaga kebersihan lingkungan. Hanya saja dalam praktik di lapangan saja yang kurang diterapkan.
Itulah sebabnya mengapa KSM Cahaya Maju merangkul para ibu rumah tangga lainnya mendirikan Bank Sampah. Konsepnya sama seperti sebuah bank. Setiap harinya Bank Sampah menerima setoran dari debitor atau nasabah berupa sampah. Nasabah di sini tidak lain adalah warga sekitar. Kebanyakan adalah para ibu rumah tangga.
“Siapapun boleh menjadi nasabah di bank kami,” kata Sarofah.
Tetapi untuk memulainya bukan perkara mudah. Menyadarkan warga yang sudah terbiasa membuang sampah di sungai ternyata jauh lebih sulit daripada membesarkan Bank Sampah secara berkelanjutan.
Sarofah bersama rekan KSM bahkan pernah adu mulut dengan warga yang kedapatan membuang sampah di sungai. “Bukan malah sadar, justru anggota kami yang dimarahi warga tadi,” kata Sarofah.
Bahkan Sarofah sendiri pernah mendapatkan pengalaman yang tidak pernah dilupakan. Direktur Bank Sampah Wahana Bersama ini pernah dicemooh warganya sendiri. Alumni mahasiswa keguruan dan pendidikan, Universitas Tanjungpura Pontianak ini pernah dikatakan sebagai “Sarjana Persampahan.”
Ketika itu, ibu anak satu ini sedang melakukan kegiatan penyuluhan tentang manfaat menjadi nasabah di Bank Sampah kepada 15 ibu rumah tangga di rumah Ketua RT. Diantara peserta justru meledek, “Sarjana guru kok ngurusin sampah,” kata Sarofah menirukan perkataan sejumlah warga tadi.
Sebelum mendirikan Bank Sampah, Sarofah sebenarnya sudah lebih dulu mendapat pelatihan bagaimana mengorganisasikan warga sekaligus menerapkan seni kerajinan tangan mengolah sampah menjadi barang jadi yang bernilai jual tinggi. Seperti menganyam dan menyulam bungkus makanan dan minuman menjadi tas, dompet, dan tikar.
Pelatihan semacam itu didapatkan dari Wahana Visi Indonesia. Ibu beranak satu ini juga diajak langsung melakukan studi banding pengelolaan Bank Sampah di Malang, Jawa Timur. Hasil pelatihan itulah Sarofah mengadopsi manajemen Bank Sampah di tempat tinggalnya.
Awalnya Sarofah mengajak beberapa ibu rumah tangga sebagai kadernya. Setelah diberikan pemahaman, para kader ini kemudian melakukan penyuluhan di tingkat RT. Tapi program penyuluhan itu tidak berjalan mulus. Dari 15 undangan yang hadir pada pertemuan itu, hanya lima orang saja yang serius masuk menjadi nasabah di Bank Sampah. Mereka adalah Syahriah, Yuni, Rugayah, Sri dan Rusmali. Semuanya adalah ibu rumah tangga.
“Mulanya kami hanya memberikan modal berupa tiga buah karung kepada tiap nasabah kami,” kata Helmi, anggota KSM Cahaya Maju.
Karung- karung itu nantinya akan diisi langsung nasabah sendiri, bilamana di rumahnya terdapat limbah sampah berdasarkan jenis klasifikasinya. Karung pertama untuk limbah sampah kertas, karung ke dua untuk sampah plastik dan karung ketiga untuk sampah bahan aluminium.
“Setelah karung terisi penuh sampah, nasabah bisa membawanya langsung ke Bank Sampah,” kata Helmi.
Selain menjadi nasabah, lima orang ini juga dibekali dengan beragam pelatihan keterampilan. Lembaga Wahana Visi Indonesia yang mendampingi mereka mendatangkan langsung pemateri dari luar daerah untuk mengajari mereka.
Seperti menganyam menyulam sedotan air mineral menjadi taplak meja, dompet handphone dan lainnya. Ada juga merangkai botol dan gelas plastik menjadi aneka bunga dan tudung saji. Aneka kreasi kertas menjadi kotak pensil, kotak tisue dan lainnya.
“Hasil kerajinan inilah yang akan kami jual kepada masyarakat umum,” kata Sarofah.
Bank Sampah binaan Sarofah di sini menerapkan sistem koperasi. Artinya, keuntungan dari hasil dari transaksi masuk ke dalam buku kas. Dana ini nantinya bisa dipergunakan untuk keperluan hidup warga. Seperti menyiapkan dana pinjaman untuk bantuan modal usaha serta kebutuhan pokok warga yang mendesak. Misalnya untuk biaya sekolah dan berobat.
Agar mempermudah pelayanan, setiap nasabah akan diberikan nomor rekening dan buku tabungan. Tujuannya para nasabah lebih mudah mengetahui jumlah saldo setiap kali melakukan transaksi.
Di bank ini, tidak semua jenis sampah bisa disetor. Hanya sampah yang memenuhi klasifikasi saja yang bisa terima pihak ke bank. Seperti sampah kertas atau kardus, bungkus plastik makanan, bahan aluminium, serta jenis lain yang mengandung logam.
Tiap nasabah biasanya tidak bisa menyetorkan sampahnya setiap hari. Mereka harus mengumpulkan sampah sisa belanja dari pasar atau barang tidak terpakai di rumah sampai semuanya terkumpul banyak.
“Begitu karung sampah di rumah kami penuh, baru kami setor ke bank, “ kata Sri, ibu rumah tangga lainnya di Gang Usaha Bersama Satu.
Dari hasil sampah yang disetor, para nasabah memperoleh nominal saldo berdasarkan berat dan jenis sampah yang disetor. Misalnya jenis sampah bungkus mie instan dihargai Rp 50/bungkus. Sampah kertas atau kardus Rp 900/kilogram. Sedangkan sampah minuman kaleng Rp 3.000/kilogram.
Setiap kali transaksi, di Bank Sampah ada petugas yang akan melakukan pencatatan dan menimbang sampah milik nasabah. Dengan syarat, seluruh bahan baku yang disetor harus dalam kondisi bersih. Gunanya, untuk menghindari aroma tidak sedap di areal bank sampah. Dari situ, saldo nasabah dicatat dalam bentuk pembukuan. Uangnya pun sudah bisa diambil hari itu juga untuk keperluan masing-masing.
“Saya biasa menerima saldo Rp 50 ribu per hari dari setoran sampah kardus dan bungkus plastik deterjen dan mie instan, sisa belanja dari agen sembako,” kata Ashiong, pemilik warung di Jalan Selat Sumba. “Alhamdulillah, kehadiran Bank Sampah, pengeluaran uang jajan sekolah anak bisa terbantu dari setoran sampah di rumah kami,” kata Sri, ibu rumah tangga lainnya dan juga menjadi nasabah di Bank Sampah.
Setelah sampah terkumpul, petugas bank akan memilah sampah yang terkumpul kemudian disortir sebagai bahan baku kerajinan tangan. Sedangkan sisa sampah yang lain dijual di tempat pengepul atau agen penampung sampah.
“Dulunya memang pengepul sampah yang datang ke bank kami,” kata Sarofah. Berkat bantuan dari pemerintah daerah, kami sendiri yang mengantar sampah rumah tangga menggunakan kendaraan tosa. Jenis kendaraan sepeda motor beroda tiga.
Bagi warga luar yang ingin menjadi nasabah di Bank Sampah tidak ada persyaratan khusus. Cukup datang ke kantor Bank Sampah, aksesnya berkisar 50 meter dari rumah Sarofah. Di kantor itu, warga yang mendaftar langsung dibuatkan buku tabungan beserta nomor rekening.
Awal mulanya kantor bank ini masih menumpang di salah satu bagian rumah ketua RW. Luas bangunan yang disediakan berkisar 3 x 4 meter persegi. Karena ukuran kantor yang kecil, banyak sampah kami mengalami rusak akibat dimakan tikus. “Kebanyakan sampah plastik. Sampah kami jadi banyak yang sobek,” kata Sarofah.
Baru pada 2013 ini, Bank Sampah warga sudah memiliki kantor sendiri dengan bangunan fisik dua lantai. Dana pembangunan berasal dari bantuan Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Kalimantan Barat. Kantor ini sekarang berdiri megah diantara pemukiman warga yang padat penduduk.
Meski sudah memiliki kantor tetap, petugas bank tidak bisa berjaga seharian penuh. Maklum, karyawan bank ini umumnya adalah para ibu rumah tangga, kebetulan tergabung dalam anggota KSM Usaha Maju. Selama menjalankan tugas, mereka sama sekali tidak dibayar, alias bekerja dengan sukarela.
“Asalkan warga sudah rajin menabung sampah di bank kami, kami sudah merasa senang,” kata Hairiah, salah satu karyawan Bank Sampah. “Karena setiap sampah yang mereka setor, berarti ikut berpartisipasi menjaga kebersihan lingkungan,” tambahnya. Dari keuntungan bersih produk yang berhasil terjual, tiap anggota mendapat pendapatan sebesar 20 persen. Sedangkan sisanya masuk kas Bank Sampah untuk biaya operasional berikutnya.
Kehadiran Bank Sampah selain efektif menjaga kebersihan lingkungan, keberadaannya jelas membantu ekonomi warga. Terutama para ibu rumah tangga. Biasanya setiap hari mereka memiliki pekerjaan rutin di rumah. Yakni memasak dan bersih-bersih. Diantara pekerjaan rutin itulah, setiap sore atau menjelang malam, sebagian dari mereka membuang sampah yang tidak terpakai. Seperti bungkus deterjen, mie instan kertas kardus dan lainnya.
“Setelah mengetahui ada Bank Sampah, saya rajin memilah sampah yang layak disetor ke pihak bank,” kata Rugayah, ibu rumah tangga lainnya.
Sampai-sampai anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar ikut-ikutan peduli mencari sampah di sekolah yang bisa disetorkan ke bank. Misalnya sering mengumpulkan sedotan dari minuman air mineral dalam bentuk kemasan gelas plastik. Di Bank Sampah, sedotan jenis ini dihargai Rp 2.000/ ons.
“Puncaknya pasca lebaran, anak-anak kami biasa bergerilya berkeliling gang mencari sisa minuman kaleng dan sedotan Aqua gelas,” kata, Wahidah, ibu rumah tangga lainnya.
Karena keberadaan Bank Sampah bersifat pemberdayaan, pihak bank biasanya menyarankan warga yang telah menyetorkan sampahnya, uangnya tidak langsung dicairkan. Artinya saldo yang masuk ke dalam buku tabungan bisa diambil dalam waktu 2-3 bulan.
Tujuannya, begitu saldo nasabah sudah terkumpul banyak, nasabah bisa memanfaatkan uang tadi untuk keperluan yang lebih mendasar. Seperti biaya keperluan sekolah anak dan keperluan berobat bagi warga yang mengalami sakit.
“Kebijakan itu harus ada persetujuan dari nasabah sendiri,” kata Sarofah. “Jika nasabah tetap ingin mencairkan uangnya hari itu juga, tetap kami layani.”
Ada yang menarik di bank ini. Meski petugasnya adalah ibu rumah tangga, tapi dalam menjalankan bisnis sosial ini, mereka tidak mau kalah ketinggalan dengan program yang dibuat oleh bank pada umumnya. Bagaimana menarik sebanyak mungkin simpati warga agar menjadi nasabah.
Caranya dengan meluncurkan program baru berupa menyediakan paket sembako dan kredit pemberdayaan. Program ini bertujuan untuk melayani kebutuhan warga lainnya. Biasanya warga Siantan Tengah, setiap kali memasuki hari besar keagamaan, banyak yang memerlukan uang tambahan untuk keperluan lebaran atau natal. Nah, bagi nasabah yang tidak memiliki cukup uang, bisa meminjam uang ke bank sampah dengan bunga nol persen.
“Tapi jumlah pinjaman tidak lebih dari Rp 300 ribu. Karena dana modal kami yang terbatas,” kata Sarofah, yang juga guru SMK di Pontianak Utara.
Menarik dari program ini, para nasabah yang pernah meminjam uang ke bank, tidak perlu khawatir harus membayar dengan uang. Sebagai gantinya, pihak bank menganjurkan nasabah untuk melunasi pinjaman dengan menyetorkan limbah sampah dan dihitung berdasarkan berat dan jenis sampah yang disetor. Setoran pun bisa dicicil kapan saja.
Sedangkan untuk program paket sembako, pihak bank di sini hanya menawarkan pilihan kepada nasabah. Sampah yang disetor tidak hanya diganti dalam bentuk saldo tabungan, melainkan juga bisa ditukarkan dalam bentuk barang. Seperti beras, gula, minyak goreng dan lainnya.
Berkat inovasi tadi, kini warga yang di Jalan Selat Sumba hampir setiap bulan sering menerima kedatangan tamu dari luar negeri. Mulai dari Malaysia, Brunai Darussalam, Jepang Filipina, Italia, Belanda dan lainnya.
“Kebanyakan mereka yang datang ke daerah kami karena tertarik dengan usaha pemberdayaan ekonomi perempuan dari program pengolahan sampah,” kata Sarofah.
Dari Bank sampah inilah, pada 2011 Sarofah berkesempatan mewakili Indonesia menghadiri pertemuan tingkat internasional yang dihadiri 4 negara di Pontianak untuk mempresentasikan program pengolahan sampah secara swadaya.
“Begitu giliran saya menjelaskan program Bank Sampah, mereka yang dari luar negeri heran,’ katanya.
“Ternyata sampah di Indonesia bisa didaur ulang menjadi barang jadi,” kata Sarofah menirukan perkataan peserta dari luar negeri. “Karena di negara mereka, pengelolaan sampah tidak lagi dimanfaatkan menjadi usaha kecil. Melainkan sampah yang ada dimusnahkan dengan menggunakan tenaga mesin.”
Selain itu, produk olahan dari bahan baku di Bank Sampah yang semula belum dikenal masyarakat luar, sekarang sudah sering tampil di tiap ajang pameran. Baik di tingkat lokal maupun nasional. Diantaranya pernah menjadi peserta pameran tingkat nasional di Gedung Jakarta Convention Centre yang dibuka langsung presiden Susilo Bambang Yudhoyono , 2011 silam. Di sana, produk kerajinan dari warga Siantan Tengah ini mendapat apresiasi dari pengunjung.
Salah satunya adalah kotak tisue yang terbuat dari limbah kertas koran ludes terjual lantaran bentuknya yang unik dan menarik. Kotak tisue ini dibuat dari bahan dasar koran. Agar memperindah tampilan, kotak ini dilapisi dengan kertas kado dengan beragam corak dan warna. Sehingga banyak pengunjung melirik produk ini, yang tidak dijual di stand lain.
Selain pameran, para ibu rumah tangga, yang tergabung dalam anggota KSM pernah merasakan terbang ke Palu dan Jakarta untuk menjadi fasilitator. Mereka terlihat piawai memaparkan pengelolaan sampah harus ditangani secara hati-hati agar tidak ingin mencederai keseimbangan alam. Padahal sebelumnya, ibu rumah tangga ini sama sekali tidak pernah bepergian ke luar daerah.
Sarofah tentu berharap, pengelolaan sampah secara pengorganisasian dan pemberdayaan ini bisa dibangkitkan kembali ke pelbagai daerah. ”Perjuangan kami masih panjang,” katanya. ”Tapi, kami senang warga kami mulai melek kembali bahwa sampah tidak harus buang ke sungai, tapi bisa menjadi sumber pendapatan.” (agus wahyuni)
Artikel ini telah dibaca 2376 kali