KalbarOke.Com – Di tengah megahnya gedung-gedung sekolah modern, sebuah potret miris dunia pendidikan terungkap di Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Madrasah Tsanawiyah (MTs) Islam Miftahussolihin, yang berlokasi hanya sekitar 500 meter dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah, menjadi saksi bisu perjuangan para guru dan siswa di tengah kondisi yang jauh dari layak.
Kisah memilukan ini dibagikan oleh Ketua Satupena Kalbar, Rosadi Jamani, melalui akun Facebook-nya. Ia memposting tentang kondisi madrasah yang sangat memprihatinkan, terletak di pinggir tumpukan sampah yang mengeluarkan bau menyengat.
Rosadi bertemu dengan Fajar Cahyanto, seorang penggerak pendidikan yang berjuang memimpin madrasah tersebut. Menurut penuturannya, madrasah ini bukanlah bangunan sekolah pada umumnya, melainkan sebuah struktur sederhana tanpa pintu, tanpa jendela, dan tanpa plester. Dindingnya pucat, lantainya tanah gersang, dan atapnya terbuat dari seng bekas yang bocor saat hujan dan menjadi sangat panas ketika terik matahari.
Para Guru Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Di balik kondisi bangunan yang rapuh, terdapat delapan guru yang berdedikasi tinggi. Ironisnya, mereka hanya digaji sebesar Rp150.000 per bulan. Meskipun demikian, mereka tetap setia mengajar 18 siswa, mulai dari kelas 1 hingga kelas 3. Sebagian besar siswa ini berasal dari keluarga prasejahtera, anak pemulung, petani kecil, atau anak yatim piatu yang bersekolah di sini secara gratis.
“Ada delapan guru. Delapan pahlawan yang seharusnya dapat dipahat di monumen, tapi ironisnya mereka hanya digaji Rp150.000 per bulan,” tulis Rosadi dalam unggahannya. Ia menyebutkan bahwa para guru tetap mengajar, seolah gaji adalah hal sampingan, sementara pahala dan keberkahan adalah gaji utama mereka.
Berdiri Berkat Gotong Royong Warga
Madrasah yang didirikan sejak tahun 2018 ini bukan hasil dari bantuan pemerintah atau donatur kaya. Rosadi mengungkapkan bahwa bangunan ini berdiri murni berkat gotong royong masyarakat sekitar TPA yang sehari-hari akrab dengan sampah.
“Bangunan ini lahir dari gotong royong masyarakat sekitar TPA, masyarakat yang sehari-hari bersahabat dengan sampah, tapi hatinya lebih mulia dari banyak pejabat,” ungkap Rosadi.
Pendidikan di Tengah Bau Busuk
Setiap hari, para siswa dan guru harus menghirup bau busuk dari tumpukan sampah yang tak pernah berhenti. Kondisi ini menjadi tantangan berat, di mana para siswa tidak hanya harus melawan rasa malas, tetapi juga rasa mual akibat aroma yang menusuk hidung. Rosadi menggarisbawahi ironi ini dengan membandingkan madrasah tersebut dengan sekolah-sekolah di pusat kota yang dilengkapi fasilitas mewah.
Unggahan Rosadi Jamani ini mengundang keprihatinan banyak pihak, sekaligus menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan yang seringkali hanya menggembar-gemborkan kemajuan tanpa melihat realitas yang terjadi di lapangan. Pertanyaannya sekarang, akankah pemerintah dan masyarakat tergerak untuk membantu, atau potret pilu ini akan tetap menjadi kisah yang terlupakan di tengah tumpukan sampah?
Sumber: Facebook/Rosadi Jamani
Artikel ini telah dibaca 53 kali