KETAPANG, KB1 – ALAM semesta menjadi guru sekaligus tempat belajar abadi bagi komunitas adat Dayak Pesaguan di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Mereka selalu merujuk kepada tanda-tanda alam saat merencanakan dan hendak beraktivitas. Termasuk saat hendak bertani.
Para tetua akan melihat pergerakan angin dan awan serta benda-benda angkasa sebagai petunjuk pergantian musim. Jika fenomena alam itu mengisyaratkan datangnya musim kemarau, warga pun bersiap membuka dan membersihkan ladang. Mereka akan menebang, menebas, dan membakar lahan yang akan ditanami padi.
“Posisi bulan membagi tiga hingga empat musim. Kalau condong ke hilir (utara) berarti akan kemarau, sedangkan ke hulu (selatan) menandakan musim penghujan,” kata Raphael Assan, warga Dayak Pesaguan di Desa Petebang Jaya, Kecamatan Tumbang Titi, Ketapang.
Lahan yang telah dibersihkan tersebut kemudian dibera atau dibiarkan beberapa saat, sembari menunggu saat tepat untuk ditanami. Saat yang tepat itu ialah ketika posisi bulan bergerak ke selatan sebagai pertanda akhir kemarau. Jadwal tanam juga melihat pergerakan matahari, dan keberadaan bintang.
“Saat banyak bintang kerentika bermunculan di malam hari, jadwal menanam (padi) pun dimulai,” jelas lelaki 74 tahun tersebut.
Kerentika atau Karantika ialah nama lain untuk rasi bintang biduk. Gugusan tujuh bintang tampak pada langit sebelah utara di sepanjang tahun. Kumpulan bintang ini pun sering juga digunakan sebagai penunjuk arah dalam pelayaraan atau saat pengembaraan.
Penetapan jadwal tanam diperhitungkan dengan cermat agar padi tumbuh subur. Perhitungan itu terutama berkaitan dengan prakiraan curah hujan yang menjadi sumber air bagi padi. Hujan diharapkan mengguyur secara berkala pada saat benih mulai bersemi hingga menjelang padi berbuah.
“Padi akan mati diserang ulat (hama) jika menanam di luar jadwal tersebut,” ujar Raphael.
Kalender musim
Membaca tanda-tanda alam sewaktu hendak menentukan jadwal menamam padi sangat membantu petani untuk mendapatkan hasil panen yang baik. Sebab, pertumbuhan padi sangat bergantung terhadap kondisi iklim makro dan iklim mikro. Terlebih untuk pola perladangan yang sumber airnya mengandalkan curah hujan.
Ketika petani salah membaca musim, alamat gagal panen bakal mengancam ladang mereka. Tidak saja pertumbuhan padi yang terhambat, serangan hama dan penyakit juga berpotensi meningkat. Penentuan musim yang berdasar pada penghitungan astronomi dinilai jauh lebih akurat ketimbang berdasarkan kalender konvensional.
“Kalender musim (tanam) bisa ditentukan berdasarkan ilmu astronomi sederhana karena perubahan musim tidak terjadi begitu saja. Ia pasti diawali gejala-gejala alam,” jelas prakirawan Stasiun Klimatologi Pontianak Luhur Tri Uji Prayitno.
Astronomi tradisional ini semakin relevan diterapkan di masa kini, di saat pergantian musim sulit diprediksi karena perubahan iklim. Badan Meterologi Klimatologi Geofisika (BMKG) pun, menurut Luhur mengadopsi kearifan lokal tersebut dalam praktik sekolah lapang iklim (SLI) untuk petani di beberapa daerah di Indonesia.
Sayangnya, praktik seperti ini sudah lama ditinggalkan oleh petani di Desa Petebang Jaya. Seingat Raphael tradisi tersebut terakhir dipraktikan pada zaman kakeknya masih hidup. Setelah era itu, petani lebih mengandalkan kalender konvensional sebagai acuan saat menentukan musim berladang dimulai.
“Tidak ada lagi yang mau belajar, apalagi menerapkannya. Mungkin itu dianggap sudah kuno,” tukasnya.
Kondisi serupa juga terjadi di Komunitas Melayu di Kabupaten Kayong Utara. Tradisi memprediksi pergantian musim berdasarkan peredaran benda-benda langit itu semakin tergerus. Petani setempat pun berpaling ke kalender konvensional saat menentukan awal musim penanam padi.
“Kepandaian memprediksi musim cuma dimiliki orang-orang tua tertentu. Itu pun jarang dipraktikan,” kata Fathul Bahri, Mantri Tani dan Ternak di Kecamatan Sukadana, Kayong Utara. (Re/01)
Artikel ini telah dibaca 1561 kali