Opelet Pontianak, Riwayatmu Kini

PEREMAJAAN- Lamanya reaksi Pemkot Pontianak mewacanakan membangun transportasi massa yang modern, menyebabkan opelet di Kota Pontianak usam. Jangan heran opelet ini tiap tahun masuk penimbunan barang bekas alias dijual dengan cara dikilokan. FOTO: agus wahyuni

Ketika banyak orang dengan mudah mendapatkan kendaraan murah. Pemerintah juga sibuk memikirkan bagaimana cara mengatasi kemacetan kota. Tapi ada satu yang terlupakan. Nasib para supir oplet, memilih bertahan melawan gerusan zaman.

Berbincang dengan Abdon di sebuah lapak penjual kopi, tepat di bawah jembatan penyeberangan, Terminal Seroja, Pontianak Selatan. Suasana semakin hening di suatu siang yang terik itu. Ketika itu Abdon, bertubuh buncit, mengenakan baju terusannya yang terbuka dengan kemeja putih kusam, mengenakan sendal jepit. Wajahnya lonjong dan kemerah-merahan terkena sengatan matahari.

Ingatan lelaki separuh baya ini membawanya pada sebuah masa pada puluhan tahun silam. Masa lalu yang tidak ia dapatkan pada masa sekarang. Ketika itu, Abdon tidak pernah putus membawa oplet jurusan Nipah Kuning-Seroja. Dalam siklus putaran waktu selama satu hari, Abdon mampu menarik oplet hingga puluhan rate.

Angkutan opelet pada masa itu masih menjadi primadona masyarakat kelas ke bawah: buruh bangunan, pegawai swasta, siswa sekolah, para ibu rumah tangga dan lainnya. Begitu jumlah penumpang tak sebanding dengan jumlah armada angkutan jenis ini.

Ibarat audisi pencari bakat. Abdon bersama juru supir lainnya terpaksa harus melakukan seleksi penumpang. Siswa sekolah akhirnya harus “dianaktirikan” dengan cara memilih penumpang dari umum.

“Kami memilih penumpang umum karena tarifnya lebih mahal bang daripada anak sekolahan,” kata Abdon.

Pada tahun 1990-an memang belum banyak warga mengoleksi kendaraan pribadi. Hanya mereka yang berduit saja yang punya kendaraan itu. Seperti sepeda motor dan mobil. Sisanya, sepeda masih menjadi transportasi andalan warga kelas ke bawa. Begitu ada keperluan dan harus terpenuhi. Misalnya perjalanan jauh. Dari rumah menuju pusat kota, tidak ada pilihan selain menumpang kendaraan jenis ini.

Para supir oplet, seperti Abdon pun bisa menerima masa kejayaan. Sebagai supir ia panen penumpang. Tarif lama untuk satu orang penumpang umum Rp 500 sedangkan siswa sekolah Rp 200. Kala itu harga bahan bakar minyak alias BBM masih Rp 2.200 per liter. Supir opelet seperti Abdon dalam sehari bisa mengangkut lebih dari seratus penumpang. Uang Rp 200 ribu pun bisa di bawa pulang ke rumah.

“Setelah dipotong uang setoran kepada bos Rp 15 ribu. Uang makan dan uang rokok, sisanya cukup buat anak sekolah dan keperluan dapur di rumah,” katanya.

Dari penghasilan itulah, Abdon tak gentar menghadapi krisis ekonomi Nasional pada 1998 silam. Pada situasi yang genting itu, penghasilan bersih para supir opelet masih pada kisaran Rp 100-150 ribu per hari.

Setiap harinya para supir memanen rejeki dari penumpang. Kondisi itu pun berdampak pada perputaran ekonomi di terminal ibukota. Seperti di Terminal Nipah Kuning, Soedarso, Dahlia, Kemuning, Parit Mayor, Pal 3 dan lainnya.

Dinas Perhubungan Pontianak mencatat pada waktu itu lebih dari 30 rute trayek yang dilalui para supir oplet untuk mengangkut penumpang. Diantaranya rute Terminal Kapuas Indah-Terminal Batulayang-Sui Raya Dalam-KWH Hasyim-Jl Merdeka-RSUD Soedarso-Nipah Kuning dan lainnya.

Para pedagang asongan, pemilik warung kopi, pengamen, calo, sampai jasa keberhasilan tukang sapu di dalam opelet ikut kecipratan rezeki. Mereka menjadi satu ikatan keluarga yang saling menguntungkan di ruang publik tersebut.

Baca :  Bakso Sapi Bakmi Ayam 68, Tempat Yang Wajib Kamu Singgahi Jika Ke Kota Singkawang

Sayang. Derasnya permintaan penumpang yang mengandalkan transportasi ini tidak dibarengi dengan peningkatan pelayanan dari angkutan jenis ini. Tidak ada penambahan armada yang cukup untuk melayani seluruh penumpang setiap harinya. Para siswa, buruh dan pegawai terpaksa harus rela menunggu berlama- lama, oplet yang dituju melintas di hadapannya.

Begitu ekonomi di Kota Pontianak mulai geliat. Lapangan kerja semakin terbuka. Banyak proyek pembangunan lahir di kota ini. Dari pembangunan itu, banyak pula yang menyerap tenaga buruh kemudian berakhir pada tingkat penghasilan masyarakat sendiri.

Puncaknya, pada 2000, pemerintah daerah mulai gencar melakukan pembangunan infrastruktur. Jalan yang dulunya sempit disulap menjadi lebar. Semula masih kondisi tanah, kini sudah beralih menjadi aspal.

Pesatnya pembangunan sebuah kota membawa bencana baru bagi penghuninya. Era globalisasi membuka kran perdagangan menjadi tak terbendung di kota ini. Negara penjajah, seperti Jepang, menjadi negara yang sukses memasarkan kendaraan produk mereka. Kendaraan roda dua merek Honda, Yamaha, Suzuki dan lainnya laris dipasarkan.

“Cukup dengan modal uang Rp 500 ribu saja, orang sudah bisa membawa pulang sepeda motor,” kata Hamdi, supir opelet jurusan Kampung Bali-Kota Baru.

Jadilah kota Pontianak menjadi daerah rawan macet. Contoh kecil. Dalam satu rumah tangga saja sudah bisa mengoleksi 3-4 sepeda motor. Masing-masing digunakan sesuai kebutuhan. Seperti ngantor, ke pasar dan sekolah. Belum lagi masyarakat kelas menengah yang sudah menapak menjadi kelas atas. Banyak dari mereka sudah mengoleksi mobil di garasi rumah mereka.

Pada jam sibuk. waktu pegawai-siswa sekolah berangkat dan pulang kerja, hampir seluruh jalan protokol kendaraan menjadi padat merayap. Petugas polisi pun sibuk mengatur arus lalu lintas setiap harinya.

Satu persatu supir opelet itu jatuh berguguran. Ibarat bertempur di medan perang. Lajunya permintaan warga dengan kendaraan jenis murah ini, pelan-pelan menjadi batu sandungan bagi para supir oplet itu sendiri. Jumlah armada oplet pun berujung menyusut.

Data angkutan dalam kota Pontianak 2009-2011, jumlah armada opelet yang aktif berjumlah 92 armada, sementara tidak aktif berjumlah 291 armada. Pada priode Januari 2013 lebih parah lagi. Armada oplet yang aktif 72 armada dan yang tidak aktif 218 armada.

Dari sisa armada inilah, para supir tak ada pilihan. Selain melayani penumpang tradisional. Seperti para ibu rumah tangga, lansia dan lainnya, yang kebetulan tidak ada sanak-keluarga yang bersedia mengantar dengan kendaraan sendiri, terpaksa menggunakan angkutan opelet.

“Dulu, siswa yang sedang berangkat dan pulang sekolah saja kami abaikan, sekarang justru menjadi incaran supir,” kata Madi, supir opelet jurusan Seroja-Sui Jawi. “Tapi untuk mendapatkan penumpang ini sekarang saja sudah susah,” tambahnya.

Kondisi ini menyebabkan satu persatu keberadaan supir opelet menghilang dengan sendirinya. Ada yang beralih menjadi buruh bangunan, berdagang dan lain-lain. Alhasil, tak sedikit, armada oplet, yang dulunya menjadi teman supir mengangkut dan mengantarkan penumpang, harus berpisah untuk selamanya.

“Sudah banyak opelet teman saya yang dijual. Bukan di tempat dealer, tetapi dikilokan,” kata Abdon menambahkan.Satu unit oplet dikilokan hanya laku Rp 2,5 jutaan.

Baca :  Bakso Sapi Bakmi Ayam 68, Tempat Yang Wajib Kamu Singgahi Jika Ke Kota Singkawang

Puncaknya pada 2013. Tanpa pertimbangan matang. Pemerintah menaikkan harga BBM. Semula Rp 4.500 menjadi Rp 6.500. Kenaikan harga Rp 2.000 itu membawa dampak yang besar dalam pelayanan transportasi di kota ini.

Para supir pun dihadapkan pada dua dilema. Menaikkan tarif baru tapi sepi penumpang atau bertahan dengan tarif lama, tetapi menanggung rugi karena tidak sesuai dengan kebutuhan setoran dan pembelian BBM.

Situasi itu pun akhirnya menjadi pelik. Menyusutnya jumlah armada angkutan dan penumpang, menyebabkan rumah bagi para supir oplet banyak yang tutup. Seperti di Terminal Pal III. Di tempat itu dulunya banyak warga sekitar mengandalkan terminal ini untuk bepergian ke Sungai Jawi, sekarang sudah tidak lagi beroperasi.

Situasi yang sama juga terjadi di terminal Jalan Tanjung Raya II dan Soedarso, kini sudah menjadi lahan pengusaha penampung barang bekas. Mirisnya lagi, di terminal Nipah Kuning, yang dulunya beroperasi 24 jam, sekarang telah beralih fungsi menjadi pasar tradisional.

Begitu para supir kehilangan tempat mangkal, situasi justru berbalik. Mereka yang dulunya sebagai lumbung penghasilan Dinas Perhubungan. Setiap hari dan bulan wajib menyetor uang retribusi dan trayek, sekarang justru dianggap sebagai pelanggar lalu lintas.

“Kami mangkal sebentar saja di tepi jalan Tanjungpura sebentar saja sudah harus berhadapan dengan petugas Dinas Berhubungan,” kata Anton, supir opelet jurusan Nipah Kuning-Kapuas Indah.

Petugas Dinas Perhubungan itu menuduh supir para supir menyalahi aturan dengan menempati terminal bayangan. Mereka sering mangkal di tepian Jalan Tanjungpura. Dituding menjadi biang kemacetan ibukota.

“Kami ini seperti penjahat saja yang dikejar-kejar petugas Dishub itu,” katanya.

Adu mulut pun kerap terjadi antara supir opelet dengan petugas. Petugas itu sepertinya lupa. Jalan Tanjungpura yang seharusnya untuk pengguna jalan, hampir setengah badan jalan kini diisi tempat parkir kendaraan. Baik roda dua maupun empat.

“Parkit hampir setengah badan jalan lebih bikin macet daripada kami yang mangkal sebentar di tepi jalan ini, kata Lufti, supir oplet jurusan Sui Raya-Kapuas Indah.

Selain berhadapan dengan petugas dinas, para supir ini juga harus pasang badan dengan juru parkir. Keberadaan mereka dianggap meresahkan para supir opelet. Bisa dilihat, hampir seluruh terminal dikuasai parkir. Contoh kecil di Terminal Kapuas Indah. Semula menjadi tempat mangkal oplet, sekarang beralih menjadi areal parkir.

Siang itu, di terminal Seroja, wajah-wajah letih para supir opelet itu terpancar. Suara Pemred pada hari itu berkesempatan mengikuti Abdon jalan-jalan mencari penumpang. Tak banyak dari mereka yang berusaha melambaikan tangan. Satu rate pulang pergi Seroja-Nipah Kuning, Abdon hanya mendapatkan enam penumpang. Sudi, Soleh Ahmad, dan supir lainnya juga mengaku sama.

Di warung kopi itu, mereka tanpa malu merogoh kocek. Segumpal uang kertas diperlihatkan. “ Selama setengah hari ini kami baru dapat Rp 35 ribu.” Belum potong bensin dan setor ke bos. Kami masih tekor,” kata Ahmad, supir Kapuas-Soedarso, yang ikut nimbrung bersama supir lainnya. Menyedihkan. (agus wahyuni)

Facebook Comments

Artikel ini telah dibaca 3146 kali