KalbarOke.Com – Suasana di Simpang Tiga Pulau Bendu, Landak, pada Jumat (18/7/2025) mendadak memanas. Bukan karena terik matahari, melainkan karena gelombang penolakan keras terhadap program transmigrasi yang disuarakan oleh Aliansi 28 Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Kabupaten Landak. Ratusan massa turun ke jalan, membawa pesan tegas: cukup sudah program transmigrasi yang mereka seibaratkan “bom waktu di atas jerami kering.”
Sebelum aksi bergemuruh, para demonstran berkumpul di Makam Pahlawan Pal 3. Dengan iringan sepeda motor dan mobil komando yang menggaungkan orasi, mereka bergerak dalam pawai damai menuju titik aksi. Namun, damainya perjalanan tak berarti lunaknya tuntutan.
Di lokasi, aksi tak hanya diwarnai orasi lantang, tetapi juga ritual adat Dayak Nyangahatn yang sakral. Ini adalah bentuk penolakan dari lubuk hati terdalam, menunjukkan betapa program transmigrasi ini telah menyentuh akar budaya dan identitas lokal.
Asap hitam membumbung dari pembakaran ban, simbol nyata kekecewaan yang membara terhadap kebijakan pemerintah pusat.
“Kami tidak menolak kehadiran saudara-saudara dari luar secara mandiri. Buktinya selama ini Kabupaten Landak tetap damai dan terbuka menerima siapa saja. Tapi jika kedatangan mereka diatur oleh negara dengan segala fasilitas dibayar, itu yang kami tolak!” tegas Ferry Sak kepada awak media.
Ia menjelaskan bahwa program transmigrasi yang berjalan justru memperlebar jurang kesenjangan sosial di Kalimantan. Ferry tak ragu menyebutnya sebagai “bom waktu di atas jerami kering,” sebuah metafora mengerikan yang menggambarkan potensi konflik horizontal yang mengancam.
Aksi ini, lanjut Ferry, adalah bentuk solidaritas bukan hanya untuk Landak, melainkan seluruh Kalimantan – termasuk Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan wilayah lain yang merasakan dampak dan menolak program serupa.
“Kalau pemerintah serius ingin menghentikan program ini, hapus saja, bubarkan saja Kementerian Transmigrasi yang ada di republik ini! Kami masyarakat Kalimantan juga ingin diperhatikan, dibangun, dan dilibatkan dalam kebijakan,” serunya penuh emosi.
Aksi damai ini berakhir dengan ritual pemecahan telur, sebuah simbol adat Dayak yang mengirimkan pesan penolakan yang halus namun penuh makna.
Di bawah pengawalan ketat aparat kepolisian, suara rakyat Landak telah terucap. Akankah pemerintah pusat mendengar peringatan “bom waktu” ini? (Dri/01)
Artikel ini telah dibaca 244 kali