Namanya juga lagi masa tenang. Harusnya semua dalam situasi dan keadaan yang tenang. Tanpa hiruk pikuk. Senyap. Sunyi. Tanpa bunyi. Tiada kekalutan, apa lagi keributan. Ya, kalau boleh diibaratkan, semacam fase perenungan. Bertafakur. Meditasi. Begitulah kira kira, maksud yang dinginkan oleh Komisi Pemilihan Umum selaku penyelenggara pemilihan kepala daerah.
Sesuai jadwal, sejak Minggu kemarin, tangal 24 November 2024, tahapan Pilkada masuk pada fase masa tenang. Tiga hari disediakan waktu untuk masa tenang ini, menjelang hari H pencoblosan 27 November. Setelah hampir dua bulan disediakan waktu untuk berkampanye, termasuk berdebat bagi setiap pasangan calon kepala daerah di media, wajar bila ada waktu untuk istirahat kembali menju ke agenda utama yang menentukan. Ibarat pesawat, setelah berada di ketinggian maksimal, maka bersiap selanjutnya untuk landing.
Seiring masa tenang, maka sejumlah aturan menyertai. Segala atribut dan bahan kampanye yang ada di laut, darat dan udara, semua dibersihkan. Para pihak, pemangku kepentingan, semua mengawasi. Jangan coba coba bila ada yang melanggar, berkampanye di masa tenang. Sanksi siap diberikan kepada siapa saja yang tak patuh.
Relatif tenang dan senyap di dunia nyata selama masa tenang. Namun rupanya, keadaan berbeda di dunia maya. Lihat lah semenjak tanggal 24 November, memasuki pekan sunyi. Tetap saja muncul hiruk pikuk. Bermacam ragam. Ada yang mengekspose hasil survey, saling olok dan sebagainya. Semrawut tampak jelas ketika membuka media sosial. Bila kurang cermat mencerna, kesan bersitegang seolah mencuat. Tapi, ya, sudah lah. Nama nya juga dunia tidak nyata. Lagi pula, banyak akun samaran yang muncul di maya raya tersebut.
Hanya saja, politik selalu penuh dinamika. Justru bukan politik namanya kalau sekadar diam, sunyi senyap. Pasti banyak cara. Berbagai upaya dilakukan untuk meraih kemenangan. Malah kabarnya, tiga hari masa tenang ini malah merupakan fase menentukan. Serius? Iya. Sudah menjadi rahasia umum. Bahkan muncul istilah yang sudah akrab ditelinga dari Pilkada ke Pilkada; seperti serangan fajar, operasi subuh dan lainnya.
Serangan fajar. Operasi subuh. Apaaan tu..? Yaitu semacam upaya terakhir, menyasar langsung ke pemilik suara di jam atau menit terakhir, mendekati waktu pencoblosan, agar mau memberikan hak suaranya ketika berada di bilik suara. Sebagai magnetnya, ya, ganjaran imbalan-bukan lagi sekadar iming iming. Umumnya yang diberikan kepada si empunya suara adalah uang. Kadang juga uang plus barang kebutuhan.
Secara regulasi, aturan, praktik membeli suara jelas dilarang keras. Badan Pengawas Pemilu pasti akan menindak tegas. Bahkan jika ada kontestan yang terbukti melakukannya, maka terancam diskualifikasi. Makanya, selain gencar bersosialisasi terkait pengawasan Pilkada, Bawaslu juga menebar organ atau selnya hingga ke setiap tempat pemungutan suara. Posko pengaduan pun disiapkan bagi khalayak yang hendak melapor.
Tapi lagi lagi, politik selalu banyak cara, strategi, taktik, dan bahkan juga intrik. Bukan tak paham regulasi atau aturan, meski dilarang, terlanjur serangan fajar dan serangan subuh lah, sebagai gerakan paling efektif-katanya, sehingga pelaku politik yang ingin meraih kemenangan dan kepercayaan lewat “proses demokrasi”, tetap saja ada yang “mau melakoni”.
Pilkada langsung adalah keniscayan. Ia merupakan konsensus nasional yang jelas tertuang dalam konstitusi negara. Dan tentunya semangatnya kala itu, sebagai tindaklanjut dari sebuah gerakan besar ditahun 1998 bernama reformasi. Niat dan semangatnya tentu baik. Menjadikan negeri yang tediri dari banyak pulau, berbagai suku bangsa, berpenduduk ratusan juta jiwa ini sebagai negara demokrasi berbasis kerakyatan dengan kedaulatan berada langsung di tangan rakyat. Mulai dari Presiden, wakil rakyat, hingga kepala daerahnya dipilih langsung. Satu orang memiliki satu suara. Tak ada perbedaan atau kasta antar setiap warga negara terkait hak pilihnya.
Sepintas kenyataanya, dari beberpa kali Pemilu maupun Pilkda diera reformasi yang sudah kita helat, semua berjalan sukses dan lancar. Walaupun tentu tak sedikit juga yang beceloteh dan bahkan menggugat, terkait kesempurnaan pelaksanaan even demokrasi tersebut.
Apapun bentuk, pola, dari sebuah ikhtiar demokrasi, muara paling utama yang hendak dicapai tentu adalah terwujudnya kesejahteraan rakyat. Demokrasi tak boleh menjelma sebagai antitesa. Terlebih hanya terjebak dalam kegiatan rutin belaka, sekadar formalitas-padahal banyak energi yang telah terkuras olehnya.
Makanya pada fase masa tenang pilkada serentak tahun 2024 ini, selain dimanfaatkan untuk menimbang calon pemimpin yang hendak dipilih ditanggal 27 November, ada baiknya juga kita memanfaatkannya sebagai momen untuk bertafakur dan merenung. “Sudah berada di rel yang benarkah kendaraan bernama demokrasi ini sedang berjalan di negeri bernama Indonesia?”
Yukss, mari merenung sejenak. “Ssssttt…harap tenang!” Ehhhmmm.** (Penulis warga Kalbar dan bekerja di media)
Artikel ini telah dibaca 1594 kali