KalbarOke.Com – Praktik tata niaga kelapa sawit yang tidak sesuai regulasi, seperti pabrik kelapa sawit (PKS) tanpa kebun dan “ramp” sawit ilegal, menjadi sorotan utama dalam Forum Group Discussion (FGD) “Pembinaan dan Pengawasan Tata Niaga Kelapa Sawit di Kalimantan Barat” yang digelar di Ballroom Kencana Hotel Alimore pada Rabu, 9 Juli 2025. FGD ini diinisiasi oleh GAPKI Cabang Kalbar bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Kalbar dan Polda Kalbar, bertujuan mencari solusi atas permasalahan krusial yang mengganggu iklim investasi dan keberlanjutan industri sawit di Bumi Borneo.
Acara ini mempertemukan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari perwakilan pemerintah, penegak hukum, akademisi, pelaku usaha, hingga asosiasi petani sawit dari seluruh kabupaten/kota di Kalimantan Barat, baik secara luring maupun daring. Asisten Perekonomian dan Pembangunan Sekda Provinsi Kalbar, Ignasius IK, turut hadir mewakili Gubernur Kalbar, menunjukkan komitmen pemerintah daerah terhadap isu ini.
Aris Supratman, Ketua GAPKI Cabang Kalbar, dalam laporannya menyoroti berbagai persoalan yang meresahkan, seperti pencurian tandan buah segar (TBS), maraknya loading ramp tanpa izin, dan PKS yang beroperasi tanpa kebun sendiri. “Ini semua menjadi indikator lemahnya pengawasan dan disharmoni regulasi,” tegas Aris.
Ia menekankan bahwa forum ini krusial untuk merekomendasikan pembentukan Tim Terpadu Pendampingan Percepatan Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit di tingkat provinsi. Tim ini diharapkan dapat mengawal tata kelola sawit yang lebih baik dan berkelanjutan.
Ignasius IK, mewakili Gubernur Kalbar, menegaskan bahwa sawit tetap menjadi sektor strategis yang menopang perekonomian daerah. Namun, ia juga mengakui adanya tantangan serius seperti konflik sosial, deforestasi, dan ketidakteraturan tata niaga yang harus diatasi melalui sinergi lintas sektor.
“FGD ini menjadi momentum penting untuk menyelaraskan kebijakan pusat dan daerah. Kita butuh regulasi yang mengatur tata niaga, termasuk keberadaan loading ramp, secara tegas dan konsisten,” ujarnya.
Berbagai narasumber memaparkan tantangan dari sudut pandang masing-masing:
• Heronimus Hero, Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Kalbar, menjelaskan bahwa meskipun tata niaga TBS telah diatur melalui Permentan No. 13/2024 dan Pergub Kalbar No. 86/2022, implementasinya terkendala di lapangan. Hal ini terutama disebabkan oleh kehadiran loading ramp yang tidak sesuai regulasi dan belum memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB). Data menunjukkan bahwa dari 359 ramp sawit di Kalbar, hanya 97 yang legal.
• Syarif Kamaruzaman, Kadis Perindag ESDM Kalbar, menguraikan dampak dua sisi keberadaan ramp. Di satu sisi, ramp dapat membantu akses pekebun kecil ke pasar. Namun, tanpa regulasi yang ketat, ramp bisa menyebabkan distorsi harga, memotong rantai kemitraan, dan menampung TBS ilegal.
• Dari sisi perizinan, Dayang Yuli Samsiah dari DPMPTSP Kalbar menyoroti perlunya kejelasan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang digunakan untuk kegiatan loading ramp. Ketiadaan regulasi spesifik menyulitkan pengawasan di lapangan.
• Kompol Febriawan dari Polda Kalbar menekankan pentingnya pengawasan agar distribusi TBS berjalan sesuai ketentuan. “Praktik kebun sawit ilegal dan ramp tak berizin harus ditindak tegas untuk menjaga stabilitas industri sawit,” katanya, menegaskan peran penegakan hukum.
Diskusi interaktif dengan berbagai penanggap dari unsur hukum, akademisi, asosiasi petani, dan perwakilan perusahaan menghasilkan beberapa poin penting. Mereka menyoroti urgensi legalisasi ramp, pembinaan koperasi, dan sosialisasi kepada petani agar tidak terjebak dalam praktik ilegal. Usulan tindakan tegas terhadap ramp liar dan penguatan kelembagaan koperasi juga mengemuka.
FGD ini merumuskan beberapa rekomendasi kunci:
1. Evaluasi menyeluruh terhadap PKS tanpa kebun dan izin loading ramp yang tidak sesuai ketentuan.
2. Kewajiban legalitas ramp sawit yang harus berbadan hukum dan menjalin kemitraan resmi dengan PKS.
3. Penyusunan regulasi khusus terkait ramp sawit dan klasifikasi KBLI yang jelas.
4. Penegakan hukum tanpa pandang bulu terhadap pelanggaran tata niaga sawit.
5. Pembentukan Tim Terpadu Provinsi untuk mendampingi tata kelola dan menyelesaikan hambatan perkebunan sawit.
6. Anggota tim terpadu akan melibatkan Dinas Perkebunan, Disperindag, Dinas Tenaga Kerja, GAPKI, dan unsur terkait lainnya.
FGD ini ditutup dengan harapan besar bahwa hasil diskusi ini tidak hanya berhenti sebagai wacana, melainkan segera ditindaklanjuti menjadi kebijakan konkret. Tujuannya adalah mewujudkan tata kelola perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat yang berkelanjutan, transparan, dan adil bagi semua pihak, memastikan sektor strategis ini memberikan manfaat optimal bagi perekonomian dan masyarakat.
Artikel ini telah dibaca 231 kali