
Setiap Mei adalah kenangan. Betapa tidak, persis pada 21 Mei 1998, ada peristiwa yang amat sangat penting bagi bangsa ini. Semua kita waktu itu-dan hingga saat ini-masih sepakat untuk menyebutnya sebagai era reformasi. Walaupun ada juga yang latah, menyebutnya sebagai Orde Reformasi, karena sudah terlanjur ada Orde Lama dan Orde Baru.
Mei 1998 menjadi penting bagi kita semua, karena pada 18 tahun silam tersebut, telah hadir sebuah fase baru. Babak yang mengawali perjalanan sebuah bangsa, perjalanan sebuah negeri, yang bernama Indonesia. Kalau boleh dibilang, jelas sekali bahwa, peristiwa tersebut, selain penting, juga amat sangat berkesan.
Mengapa begitu berkesan? Betapa tidak, pada hari itu, sekitar jam sepuluhan, pada 21 Mei 1998, “sekonyong-konyong”, ada orang yang paling super di negeri ini, namanya Soeharto, dia adalah Presiden RI yang sudah 32 tahun berkuasa, tiba-tiba menyatakan mundur. Padahal, ketika itu, 70 persen atau bahkan lebih, kekuatan di parlemen ia kuasai. Begitu pun militer, dalam cengkramannya. Kekayaan dikantongi luar biasa besar. Pun juga berbagai elemen lain di negeri ini, hampir semuanya dalam sub ordinat dari seorang jenderal besar tersebut.
Pernyataan Soeharto ketika itu-sebagaimana saya juga ikut menyaksikan melalui layar televisi-ditengah sibuk menduduki kantor DPRD Kalbar di Jalan Ahmad Yani Pontianak bersama sejumlah aktivis yang lain, kalau saya amati, jelas dengan penuh kesadaran. Soeharto resmi menyampaikannya di Istana Negara. Dan Presiden Soeharto membacakan pernyataan berhentinya tersebut di hadapan Mahkamah Agung, disaksikan ratusan media nasional dan internasional. Usai Soeharto Berhenti, wakilnya Habibie, giliran yang membacakan sumpah sebagai Presiden RI, menggantikan Soeharto.
Woow..!! Semua bergembira ria. Mulai dari di Senayan (gedung DPR/MPR RI) hingga ke daerah-daerah, para aktivis yang bergerak menuntut turunnya Soeharto, hiruk pikuk. Termasuklah Kami yang di Pontianak, langsung diajak konvoi oleh pasukan Korem 121 ABW, berkeliling ibu kota propinsi (kota Pontianak) dengan menaiki pansernya-yang sudah beberapa hari bersiaga di halaman DPRD Kalbar.
Seingat saya, tidak ada satu orang pun yang mengeluarkan kata-kata miring terhadap gerakan reformasi. Serta merta, semua tancap gas. Berbagai produk Undang Undang dan lain sebagainya dibikin, menindaklanjuti reformasi yang bergulir. Undang Undang tentang Pemerintah Daerah yang sentralistis diubah. Undang Undang Parpol dan Undang Undang Pers dihasilkan, dan banyak lagi produk turunan reformasi dihasilkan.
Tanpa menunggu priode lima tahun Pemrintahan Habibie, Pemilu dan Pilrpes pun langsung digelar ditahun 1999 (padahal Pemilu baru saja digelar 1997). Dari hasil Pemilu dan sidang umum MPR/DPR, Gus Dur terpilih menjadi Presiden, Megawati jadi Wapres, Amien Rais Ketua MPR, dan Akbar Tanjung Ketua DPR. Selanjutnya, beberapa tokoh penting reformasi menjabat Menteri diera Pemerintahan Gus Dur-Mega.
Sejak start 1998, reformasi bergulir dari waktu ke waktu mengiringi perjalanan bangsa ini. Hingga kini, selama 18 tahun lebih sudah perjalanannya. Banyak perubahan wajah bangsa di negeri bernama Indonesia ini telah dihasilkan. Termasuklah yang monumental, dilahirkannya lembaga negara seperti KPK, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Dewan Pers, dan banyak lagi lainnya. Semua tentu dimaksudkan untuk memperkuat dan memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta.
Diantara semua itu, yang kelihatan salah satunya adalah suksesi kepemimpinan di daerah. Berkat reformasi, dominasi militer saat pemilihan kepala daerah, kini hampir bisa dikatakan sudah tidak lagi terjadi. Lantas, bermunculan lah putera daerah untuk tampil memimpin di wilayahnya, termasuklah di Kalbar, mulai level Gubernur hingga Bupati dan Walikota (padahal sebelumnya kepala daerah umumnya dijabat oleh tentara).
Bila kita cermati, sebenarnya, perjalanan dan output dari reformasi, hingga kini memang belum memuaskan, sesuai cita-cita yang diharapkan. Kemiskinan masih dengan mudah untuk disaksikan hampir di merata tempat di belahan bumi nusantara ini. Begitu juga dengan korupsi dan kekerasan, malah terjadi secara merata di segala lini, mulai pada level atas hingga akar rumput.
Namun demikian, bila ada yang mengatakan reformasi telah gagal dan kita keliru melakukan reformasi, maka dengan tegas, Saya akan mengatakan “tidak!”. Mana mungkin, hanya dengan fakta “seolah-olah”, seperti perekonomian yang terkesan masih carut marut sekarang ini, terjadinya pergesekan sosial, dan lain sebagainya, lalu dengan cepat ada yang coba-coba menyimpulkan, reformasi seolah gagal dan kehilangan arah.
Lalu kemudian, lantas ada pula yang berupaya mengaburkan reformasi dengan memunculkan ungkapan, “Masih Enak di-Zaman-Ku, Toh!”. Dengan percaya dirinya, di-kalimat tersebut, terpampang wajah Soeharto tersenyum sambil melambaikan tangan. Ehmm. Sebenarnya, menjawab ungkapan mereka yang miris itu, enteng saja. Kita juga bisa dengan santai sambil berguyon sesuai fakta untuk mengatakan, “Siapa bilang zaman Soeharto enak?” “Prestasi nilai tukar dolar terhadap rupiah terburuk itu (Rp 17 ribu), justeru di zamannya eyang, toh!”. Belum lagi pelanggaran HAM dan banyak lagi yang lainnya. Disaat rezim Soeharto berkuasa adalah jawaranya.
Maka-nya menjadi hal yang aneh, ditengah proses reformasi-sebagai sebuah konsensus nasional-yang masih sedang berjalan, ada saja pihak-pihak yang mencoba untuk menghalangi atau bahkan me-nyetop-nya. Kegiatan demo dianggap mengganggu. Lembaga produk reformasi seperti KPK dan sejumlah lainnya, sedemikian rupa coba untuk dilemahkan secara terstruktur melalui proses formal di parlemen, serta bahkan ada yang ingin membubarkan insitusi tersebut.
Secara logika, tentu, nalar kita akan mengatakan bahwa, mereka yang selalu berupaya untuk menghalang-halangi proses reformasi adalah para “anteknya” Soeharto. Karena reformasi telah mengusik kenyamanan dan ketenangan mereka yang sudah berpuluh tahun dalam zona “nyaman” status quo. Begitu ada kesempatan, mereka lantas berkeinginan untuk menyerang balik atau bahkan berkuasa kembali.
Secara lahiriah, karena proses reformasi belum terlalu panjang dan baru berjalan 18 tahun, tak sulit sebenarnya mengidentifikasi, siapa saja gerangan antek-nya Soeharto. Garis pembatas dengan mudah dapat dibuat untuk mengantisipasi gerakan yang dilakukannya. Kita bisa dengan mudah membangun tembok atau bahkan menghancurkannya, bila sewaktu-waktu mereka mengancam.
Hanya saja, kini yang menjadi ironis atau bahkan mengkuatirkan, seolah sekarang mulai bermunculan para “Soeharto Baru”. Dia yang dulunya jelas-jelas ikut menjadi korban otoriter rezim Soeharto, sekonyong-konyong, malah ketika mendapat mandat dari rakyat untuk duduk di legislatif maupun eksekutif, pun mencoba-coba untuk menghalangi proses reformasi yang telah berjasa melahirkannya. Uupppsss..!! Manusia memang makhluk paradoksal. Karena itu, tidak bisa tidak, sudah saatnya kini, kita, semua elemen bangsa yang sejak awal berkomitmen untuk melakukan perubahan di segala lini di negeri ini, agar lebih gencar lagi untuk berkampanye, “MELAWAN LUPA!”. ** (Pemaparan ini pernah disampaikan penulis saat acara Komisi Yudisial Perwakilan Kalbar di Pontianak)
Artikel ini telah dibaca 2240 kali