KalbarOke.Com – Harapan para petani mandiri kelapa sawit di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, pupus sudah. Lahan yang telah mereka kelola selama puluhan tahun kini terancam hilang. Penyebabnya adalah penyegelan lahan oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025. Aturan ini dinilai tidak adil dan menimbulkan keresahan bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari perkebunan sawit.
Terkait hal tersebut, perwakilan petani dan Bupati Melawi, Dadi Sunarya, melakukan audiensi dengan Gubernur Kalimantan Barat, Ria Norsan, di Kantor Gubernur Kalbar pada Selasa (26/8/2025). Audiensi ini menjadi upaya untuk mencari solusi dari permasalahan yang dialami oleh lebih dari 20 desa di lima kecamatan di Melawi.
“Kami datang ke sini bersama para petani untuk mencari jalan keluar bagi permasalahan yang dihadapi masyarakat kami di Melawi,” ujar Bupati Dadi. Ia menjelaskan bahwa para petani merasa kebijakan ini menekan kehidupan sosial-ekonomi mereka. Lahan yang telah mereka garap secara mandiri justru disegel dengan alasan masuk kawasan hutan.
Keresahan Petani yang Terus Membelenggu
Suhaili, seorang kepala desa yang juga mewakili aspirasi warganya, mengungkapkan bahwa penyegelan lahan ini bukan hanya menghambat produksi, tetapi juga memberikan tekanan psikologis. “Kami meminta pemerintah meninjau kembali Perpres Nomor 5 Tahun 2025,” tegasnya. “Aturan ini membuat masyarakat gelisah, apalagi lahan yang disegel sudah dikelola puluhan tahun.”
Ia menambahkan, masyarakat berharap agar lahan yang telah digarap bisa dikembalikan kepada mereka dan dilegalkan. “Masyarakat meminta agar lahan tidak diberikan ke konsesi. Kami berharap lahan ini dikembalikan dan diputihkan,” pintanya.
Komitmen Pemerintah Provinsi untuk Mencari Titik Terang
Menanggapi hal tersebut, Gubernur Ria Norsan berkomitmen bahwa Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat akan terus mendampingi masyarakat dan berupaya menyelesaikan persoalan ini. “Kami tidak akan membiarkan masyarakat yang sudah mengelola tanah tersebut harus lepas begitu saja,” ujarnya. “Kita harus mencari jalan terbaik atau win-win solution.”
Gubernur juga membuka opsi untuk mengalihkan status lahan dari hutan produksi menjadi Hutan dengan Penggunaan Lain (APL). “Kita akan meninjau kembali beberapa regulasi yang ada, apakah statusnya bisa diubah dari hutan produksi menjadi APL. Mudah-mudahan bisa menjadi APL, sehingga lahan ini bisa dimiliki oleh masyarakat,” pungkasnya.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat diharapkan bisa menjadi fasilitator untuk menjembatani kepentingan petani dengan regulasi yang ada, sehingga konflik agraria ini dapat terselesaikan. Langkah ini menjadi tonggak penting dalam upaya penyelesaian konflik agraria, di mana pemerintah provinsi bertindak sebagai fasilitator untuk menjembatani kepentingan petani dengan regulasi yang ada. (adp/01)
Artikel ini telah dibaca 184 kali