PONTIANAK, KB1 – Matahari pagi ini mulai menampakkan sinarnya untuk hari Rabu bulan Shafar
1436 Hijriah, Arifin (61) dan Ramnah (45), pasangan suami istri tengah sibuk mempersiapkan
halaman rumahnya untukmenggelar doa tolak bala. Mulai dari membersihkan teras rumah, mengampar tikar, menata nampan sajian hasil urunan warga, kemudian menyiapkan gentong
berisi air yang nantinya dibacakan doa tolak bala dan akan dibagikan kepada seluruh warga yang berada tempat di sekitaran rumahnya. Arifin menceritakan kegiatan ini adalah ritual tetap di kampungnya di Desa Wajok Hilir, Kecamatan Siantan, Kabupaten Mempawah. Rutin pada setiap hari Rabu terakhir bulan Shafar atau dalam istilah suku Bugis disebut ‘faccapureng arraba’ mirip mungkin dengan ritual ‘Rebo Wekasan’ di Jawa. Yang berbeda menurutnya, kalau di Wajok dilakukan secara sporadis dan dalam kelompok kecil warga yang berdekatan rumahnya sehingga keakraban antar tetanga makin terjalin dan lebih harmonis.
Meskipun bersamaan dengan agenda robo’-robo’ di kota Mempawah, kata tetua Desa Wajok Hilir itu, namun berbeda maksud dan tujuan karena yang di Mempawah lebih ditekankan pada peringatan berdirinya Kerajaan Mempawah, sementara yang dilakukan warga di sini hanya berdoa tolak bala bersama-sama.
“Acara ini kita rutinkan tiap hari Rabu menyambut datang nya hari robo robo . kalau di Mempawah kegiatannya lebih pada napak tilas berdirinya kerajaan Mempawah. Kalau disini kami hanya melaksanakan pembacaan doa tolak bala bersama warga kampung sini”.
Dalam acara faccapureng arraba ini belum ada aturan yang baku, hanya saja bagi warga yang hadir biasanya akan membawa suguhan seperti ketupat, Pat Law, burassa dilengkapi dengan lauk lengkap dan disusun dalam nampan, lalu wadah kecil penampung air yang digunakan nanti untuk membawa pulang air yang telah dibacakan doa tolak bala.
Setelah semua warga disekitar lokasi kegiatan berkumpul, lalu seorang yang dituakan (tau matoa/pangulu) akan membacakan doa di depan nampan makanan yang telah disusun, lalu doa
dimulai dengan membaca surah al Fatihah, pujian kepada Allah lalu sholawat dan doa yang dihajatkan. Kemudian warga makan bersama-sama sambil bercerita, bercanda dan bercengkrama dengan akrab. Lalu selesai makan warga kembali kerumah masing-masing sambil membawa air
tolak bala. Biasanya air tersebut digunakan untuk mandi, membasuh muka atau membasuh kendaraan yang sering dipakainya dengan harapan agar ia atau kendaraannya terlepas dari marabahaya (bala).
“Ada keyakinan dari orang-orang tua bahwa pada hari terakhir bulan Shafar itu ribuan bala yang
diturunkan ke bumi sehingga dibuatlah ikhtiar dengan membaca doa tolak bala ini secara bersama-sama agar keinginan terhindar dari marabahaya itu dikabulkan Allah” kata Arifin H. A. Gafar.
Kegiatan ini jelasnya berdasarkan pada kebiasaan dan adat, dan dilaksanakan secara turun temurun dari generasi sebelumnya, meski bukan termasuk ibadah yang diatur tata caranya dalam syarak, namun ini banyak memiliki manfaat sehingga layak untuk dipertahankan.
“Kalau kami melihatnya dari sisi manfaat saja, dimana warga berkumpul makan bersama dan bersilahturahmi dan membaca doa untuk keselamatan semua warga, di samping itu keakraban antar tetangga yang bersipadan ataupun disekitar makin terjalin kalau tentang boleh tidaknya biar Allah saja yang menentukan, kan kami berdoanya juga kepada Allah,” katanya mengakhiri (dik/06).
Artikel ini telah dibaca 2174 kali