Reformasi…Repotnasi

“Piye Kabare? Enak Zamanku Toh?” Poster yang terpampang di salah satu mobil ini, saat melintas di A Yani Pontianak, cukup mencuri perhatian Saya ketika berkendara. Apalagi di situ terpampang foto Soeharto. Jenderal yang sangat terkenal dengan senyumannya yang khas. Lebih 32 tahun berkuasa di Indonesia, di era Orde Baru.

Pesannya sangat jelas. Semacam gugatan atas keadaan yang terjadi di Indonesia hari ini. Sebagai rezim yang dipaksa lengser kala itu, di tahun 1998, persisnya pada tanggal 21 Mei, wajar bila Soehartoisme mulai bereaksi. Hampir memasuki seperempat abad sudah waktu berlalu. Reformasi bukan lagi sebagai romantisme belaka tentu, dalam mengenangnya. Dan tak salah untuk berefleksi sejenak meng-evaluasi-nya, apakah sudah sesuai dengan yang dicita citakan kala itu.

Sebagai generasi yang dikaruniai untuk menyaksikan langsung dan bahkan ikut juga melakoni peristiwa demi peristiwa dalam gerakan reformasi di tanah air, khususnya di Kalbar, terus terang Saya merasa agak terusik dengan ‘sapaan’ Pak Harto di poster tersebut. Sebab kalau tak jeli dan teliti mencerna nya, ia bisa nenjadi semacam antitesa dari reformasi.

Padahal kita tahu, reformasi adalah konsensus nasional bangsa Indonesia. Semua sepakat, reformasi ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto. Dan Pak Harto pun mundur secara konstitusi, yaitu di Istana Negara, pada 21 Mei 1998, sekitar jam sepuluh pagi. Dan seketika itu pula, yang menggantikan adalah wakilnya, BJ Habibie.

Hanya setahun lebih usai disumpah sebagai Wakil Presiden mendampingi Soeharto saat Sidang Umum MPR RI bulan Maret 1997, karir Bapak Teknologi Indonesia ini seolah langsung melesat. Ia menjadi Presiden Republik Indonesia ketiga.

Karena situasi sedang darurat-gedung DPR MPR sedang diduduki mahasiswa, Habibie mengucapkan sumpah sebagai Presiden RI ke-3 di hadapan Ketua Mahkamah Agung, di Istana Negara, pagi itu, 21 Mei. Meski ada yang silangpendapat atas keabsahan peralihan kekuasaan tersebut, nyatanya, pasca pengucapan sumpah jabatan, Habibie adalah Presiden RI, yang bukan hanya formal konstitusional tapi juga legitimate.

Sebagai salah satu anak bangsa yang terkenal cerdas dan pekerja keras, Habibie langsung tancap gas. Sebagai orang nomor satu di negeri ini, Ia berbenah siang malam, untuk menata kembali Indonesia. Dolar yang menjulang hingga mendekati 20 ribu rupiah saat Pak Harto, berhasil dijinakan hingga ke bawah 10 ribu rupiah perdolarnya.

Begitupun regulasi. Paling monumental diantaranya adalah kelahiran Undang Undang Pers dan Pemilu. Karena ketentuan surat ijin SIUPP ditiadakan, media pun bermunculan bak jamur dimusim hujan. Begitupun atmosfer perpolitikan. Pemilu yang harusnya digelar ditahun 2002, dipercepat hajatannya. Partai politik yang sebelumnya hanya tiga, membludak menjadi 48 parpol di Pemilu tahun 1999 itu.

Meski sedang menggenggam kekuasaan, sepertinya Habibie enggan meniru tokoh panutannya Pak Harto dalam memerintah-yang cenderung otoriter. Padahal masih ada waktu empat tahun lagi untuk menggelar pesta demokrasi, tapi Habibie lebih memilih untuk segera digelar Pemilu kembali-setelah 1997. Sebagaimana kita ketahui, Pemilu dizaman Pak Harto dikatakan lebih hanya sekadar formalitas belaka. Setiap lima tahun hasilnya sudah bisa ditebak, siapa gerangan yang jadi juara nya.

Salah satu juga yang paling menonjol dari produk regulasi yang dihasilkan oleh rahimnya reformasi adalah Undang Undang Otonomi Daerah. Sitem pemerintahan yang sangat sentralistis di zaman orde baru, diubah menjadi desentralisasi. Propinsi, kabupaten dan kota diberikan otorisasi, kewenanganan yang luas untuk mengatur dirinya. Mulai dari menentukan pimpinan daerah dan program pembangunan di wilayah masing masing sesuai kebutuhan dan potensi yang dimiliki.

Harus diakui, bangsa ini sebenarnya, betul betul menikmati atmosfer reformasi yang hadir di Indonesia. Kebebasan informasi, begitu tumpah ruah, terlebih di jagat maya. Begitupun jabatan kekuasaan; legislatif dan eksekutif, mulai Presiden hingga pimpinan daerah. Gubernur, Bupati dan Walikota, yang ketika orde baru dikendalikan penuh oleh rezim Soeharto dan cenderung dipegang militer, kini terbuka lebar untuk siapa saja anak bangsa. Bahkan kalangan sipil banyak yang tampil menjadi kepala daerah-terlebih dengan sistem pemilu langsung. Kue ekonomi, kue politik dan lainnye cendrung tersebar-sangat jauh berbeda bila dibandingkan saat orde baru berkuasa.

Karenanya, tentu menjadi aneh, bila para penikmat atmosfer reformasi atau generasi yang terlahir dari rahim reformasi yang kita saksikan sekarang, baik di eksekutif maupun legislatif serta di beberapa lini kekuasaan lainnya, ada yang justeru seolah berpura pura lupa, dan bahkan mencoba untuk menghianati konsensus nasional bernama reformasi. Kekuasaan otoriter, status quo, korup, adalah diantara watak paradoksal yang perlu diwaspadai. Karena bisa saja itu dilakukan secara “tidak sadar” dan bahkan, lebih berbahaya lagi, bila melakoninya dengan penuh kesadaran, terstruktur, dan masif.

Reformasi jelas bukan romantisme. Ia kala itu, dengan puncaknya pada 21 Mei 1998, hadir sebagai sebuah reaksi atas ketidakadilan dan kesewenangan. Reformasi terlahir dari sebuah perjuangan, dengan perngorbanan; darah dan air mata.

Hampir seperempat abad sebenarnya sebuah rentang waktu yang belum begitu panjang untuk kembali mengingat sembari membuka lembaran memori reformasi di negeri ini. Terlebih pun, banyak aktifis reformasi yang kini duduk di lini kekuasaan Eksekutif maupun Legislatif. Jika ada yang melenceng, maka harus segera ditarik kembali ke rel agar berjalan sesuai tujuan yang telah menjadi konsensus kita bersama, yaitu terwujudnya tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang berkeadilan dan rakyatnya sejahtera.

Reformasi harus terus dikawal sesuai cita mulia yang diembannya. Reformasi jangan sekali kali berbelok arah atau bahkan terpleset, dan menjelma menjadi “repotnasi”. Sebab, kalau sampai itu terjadi, berarti benarlah yang dikatakan si Mbah tadi, “Masih Enak Zaman ku Toh.” ** (Penulis bekerja di PonTV)

Facebook Comments

Artikel ini telah dibaca 1726 kali