PONTIANAK, KB1- Direktur Lembaga Sahabat Masyarakat Pantai (Sampan), Fajri menilai pemerintah selama ini “abai” dengan keberadaan aktivitas para penambang rakyat di Kalimantan Barat. Buktinya, banyak lumbung emas di sejumlah daerah, sama sekali tidak didukung oleh aspek legalitas yang baik.
“Yang terjadi di lapangan aktivitas para pekerja dikendalikan oleh pemilik modal,” katanya, Senin (06/10/2014) kepada kalbarsatu.com.
Menurutnya, hampir setiap wilayah pertambangan dilakukan warga dikendalikan oleh pemodal besar. Mulai dari upah pekerja, pengadaan alat penyedot lumpur atau dikenal dengan sebutan dompeng dalam skala besar, hingga mendanai beking aparat. Padahal, menurut penelitian Sampan sendiri, aktivitas pekerja dengan menggunakan fasilitas alat yang disediakan oleh pemodal tersebut, bukanlah mencirikan pertambangan rakyat, melainkan pertambangan ilegal.
“Kalau tambang rakyat menggunakan alat pendulang yang sederhana. Tapi kalau sudah menggunakan mesin itu tambang ilegal,” tuturnya.
Sejauh ini sejumlah langkah represif dilakukan aparat, baik Satpol PP maupun kepolisian guna menertibkan tambang ilegal. Menurut Fajri, langkah tersebut tidak bakal berdampak apa-apa bagi para pekerja tambang sendiri. Alasannya cukup sederhana. Kalbar memiliki sejarah panjang tentang pertambangan emas, mulai zaman penjajahan hingga sekarang. Sulit ditertibkan.
Nah, agar praktik usaha tambang bisa menjurus kepada pertambangan rakyat, mestinya pemerintah mengeluarkan izin dengan memberikan wilayah kerja untuk pertambangan rakyat. Keuntungan lain dari legalitas dari para penambang tersebut adalah pemerintah bisa mengontrol aktivitas para pekerja, termasuk memperhatikan aspek keselamatan kerja dari mereka.
Bukan hanya itu, adanya aspek legaliltas tadi, pemerintah daerah juga bisa mendapatkan keuntungan dari aktivitas produksi tambang yang dihasilkan oleh warga. Misalnya, emas yang dihasilkan, bisa mendatangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di tiap daerah yang memiliki lokasi tambang.
Otomatis, pundi PAD yang dihasilkan tadi, bisa saja pemerintah daerah memanfaatkan pendapatan dengan mengalokasikan dana untuk reklamasi, baik dilakukan pada saat pembukaan areal lokasi tambang maupun pasca tambang itu sendiri.
“Selama ini kan tidak. Kami perkirakan dari tambang ilegal, perputaran emas di Kalbar justru mencapai angka triliunan,” katanya. “Sayang jumlah perputaran uang yang besar tadi justru tidak diketahui keberadaannya,” tambahnya.
Kurangnya kontrol dari pemerintah, dalam hal ini negara terkait dengan penambang emas ilegal, jelas membawa dampak besar bagi lingkungan. Dampaknya bisa dilihat sekarang. Di Ketapang misalnya, sekitar 40 ribu hektare hutan mengalami deforestasi akibat pembukaan tambang ilegal. Bahkan penelitian di Universitas Tanjungpura juga menyebutkan, sungai di Kalbar dinyatakan tidak laik untuk dikonsumsi karena tercemar limbah merkuri. (ags)
Artikel ini telah dibaca 1811 kali