BERTANAM LADA KINI TAK SESULIT ERA 90-AN

Siapa sangka, bertanam lada di pinggiran Kota Sambas bisa menjadi profesi utama dalam rumah tangga Herwadi. Usai mendapat pencerahan dari penyuluh pemerintah, kini bertanam lada tak lagi sesulit era 90-an, hasilnya pun sangat menguntungkan, tak heran para petani lada di Desa Sebambang menatap masa depan dengan optimis.

 

PONTIANAK, KB1 – Tanaman lada memiliki nama latin Piper nigrum tergolong kelompok tanaman holtikultura yang banyak ditanam oleh masyarakat di Kabupaten Sambas, salah satunya di Desa Sebambang. Para petani lada di Desa ini sudah menanam lada sejak tahun 90-an, hingga saat ini pasang surut bertani lada sudah mereka rasakan, mulai dari harga jual yang jatuh hingga serangan hama yang mewabah. Namun para petani lada di Desa ini tidak patah semangat menanam lada, karena komuditas ini tetap menjanjikan harga yang tinggi di pasaran.

Satu diantara petani lada di Desa Sebambang adalah Herwadi (39), pria dua anak ini telah menanam lada sejak tahun 1991. Awalnya, pria yang akrab dipanggil Nadi ini menanam lada dengan pengetahuan seadanya yang dipelajari dari rekan di lingkungan tempat dia tinggal. Menurut Nadi, bertanam lada di era 90-an tidak semudah saat ini. Dahulu, bertanam lada “cobaan” terasa lebih banyak dan berat karena ilmu yang dimiliki para petani lada masih konvensional. Saat hama mewabah misalnya, Nadi mengaku pernah gagal panen, saat banjir melanda tanamannya mati lemas tak memberikan hasil. Demikian pula untuk pemupukan, para petani lada saat itu cuma mengenal kotoran sapi sebagai pupuk organik sehingga produktifitas lahan relatif rendah dibanding saat ini.

“Kalau kini to’ (saat ini) nanam lada sudah banyak berubah, kami sudah dikenalkan cara memberantas hama, mengukur jarak tanam dan pupuk bio untuk memunculkan tunas buah. Jadi hasil panen pun lebih banyak dibanding dulu” cerita Nadi di kebunnya.

Pengetahuan bertanam lada diperoleh Nadi sekitar tahun 2006 silam, dia bersama 25 orang petani lada setempat mendapat pencerahan dari Dinas Pertanian Sambas. Mereka mendapat pendidikan bertanam lada selama enam bulan, mulai dari membuka lahan sampai penanganan pasca panen. Alhasil ilmu tersebut perlahan mulai menampakkan hasil sampai saat ini, Desa Sebambang menjadi satu diantara sentra penanaman lada di Kabupaten Sambas dengan hasil yang menggembirakan.

Baca :  Sri Mulyani Tegaskan Komitmen Indonesia pada AIIB: Dorong Inovasi Pembiayaan dan Infrastruktur Hijau

“Usai belajar enam bulan dengan orang Dinas, kami jadi tahu bagaimana membasmi hama penghisap buah, memberi pupuk agar buah banyak dan lain-lainlah ilmunya, dan hasilnya tanaman lada kami jadi lebih bagus, daunnya hijau dan buahnya banyak” lanjut Nadi.

Saat menanam lada, awalnya para petani lada mencari batang kayu di hutan-hutan untuk dijadikan turrus. Jika memilih untuk membeli, mereka harus mengeluarkan modal Rp 25.000 perbatang turrus. Setelah turrus ditancapkan dengan jarak 2 sampai 2,5 meter, semaian lada mereka tanaman di tanah yang sudah digemburkan, tahap selanjutnya tak banyak menuntut perawatan, mereka tinggal mengontrol tanaman beberapa kali dalam seminggu tergantung keperluan. Mencabuti rumput di sekitar turrus serasa olahraga pagi bagi para petani lada di Desa Sebambang.

Saat ini rata-rata produktifitas lada di Desa Sebambang mencapai 2 Kilo per satu pancang lada, dimana satu pancang lada dirambati tiga batang tanaman lada. Tanaman lada sudah siap panen saat berumur lima tahun, dengan masa produktif 5 sampai 7 tahun. Selang antar masa panen menurut Nadi adalah sekitar sembilan bulan. Para petani lada di Desa Sebambang biasanya membagi masa tanam mereka menjadi dua kelompok, hal ini mereka lakukan agar pemanenan bisa dilakukan dua kali dalam setahun.

“Saya memiliki dua lokasi kebun lada, yang disamping rumah ini ada 280 turrus (pancang) sekitar empat bulan lagi bisa dipanen, sedangkan lokasi kedua ada sekitar 100-an turrus dan baru dipanen beberapa bulan lalu, hasilnya 300-an kilo” ujar Nadi sumringah.

Para petani lada di Desa Sebambang menjual lada yang telah mereka panen kepada agen lada di Kota Sambas. Saat ini harga lada putih dipatok Rp 170.000/ Kg, sedangkan lada hitam Rp 80.000/Kg. Soal penjualan, Nadi mengaku tidak mengalami kendala, berapapun jumlah panen mereka selalu ludes terjual.

Baca :  Pemerintah Tancap Gas Deregulasi Impor, Wamenkeu: Pengawasan Lebih Cepat, Biaya Logistik Lebih Murah

“Nah, saat ini para petani lada ibarat sedang bernasib baik, harga lada di pasaran cukup tinggi, permintaan pasar juga tidak pernah putus. Setiap panen, hasilnya pasti habis terjual” ungkapnya.

Siapa sangka, bertanam lada di pinggiran Kota Sambas bisa menjadi profesi utama dalam rumah tangga Nadi. Pekerjaan ini menurut Nadi tidak menyita perhatian dan tenaga yang terlalu banyak. Perawatan tanaman lada tidaklah serumit teori yang ada di buku-buku, bagi mereka yang telah terbiasa, merawat lada seolah bisa menggunakan insting. Saat hama menyerang para petani lada sudah luar kepala meramu obat dan menjadwalkan waktu penyemprotan, demikian pula dengan jadwal pemupukan.

Saat menanam dan memanen lada, Nadi melaluinya dengan rasa gembira dan optimis karena membayangkan hasil yang akan didapat. Langkah kakinya begitu ringan saat pergi ke kebun, sesekali tangan Nadi membelai daun tanaman lada miliknya lalu menilik buah lada di sela daun yang masih hijau. Beberapa bulan lagi, buah-buah lada tersebut baru akan dipanen. Semua pekerjaan berkebun lada ini dilakukannya sendiri, terkadang istrinya turut membantu saat memanen. Ditanya tentang ketekunannya bertanam lada, Nadi mengaku memiliki ketertarikan tersendiri terhadap tanaman rempah ini.

“Saya memilih lada untuk dikebunkan, karena itu tadi hasilnya sangat menjanjikan, rempah ini kan paling banyak dipakai untuk bumbu masakan bahkan masakan luar negri pun menggunakan lada, makanya dulu Belanda menjajah Indonesia kan salah satunya untuk mengambil rempah-rempahnya ini” sahut Nadi.

Para petani lada di Desa Sebambang adalah satu diantara contoh pertanian rakyat yang terbilang sukses. Mereka menatap masa depan dengan optimis, sebab cobaan dalam bertanam lada tak lagi seberat era 90-an. Mereka telah memiliki ilmu yang mumpuni untuk menghadapi segala permasalahan bertanam lada. Jika kita bertanya asal lada di Kabupaten Sambas, hampir bisa dipastikan jawabannya adalah dari Desa Sebambang (tan/06).

Facebook Comments

Artikel ini telah dibaca 2246 kali