Kalah dan Menang

Oleh : Mursalin

Keseimbangan selalu ada di alam semesta. Semua tahu dan saban hari jelas nampak di mata. Tertulis rapi di kitab suci. Terkait ada siang dan ada malam. Ada bumi dan ada langit. Darat dan laut. Dataran dan pegunungan. Laki laki dan perempuan, serta banyak lagi lainnya, demi keseimbangan semesta raya ini. Dan termasuklah menang dan kalah, tentunya. Bisa jadi bagian dari “game keseimbangan”.

Mumpung habis pilkada, menang kalah menjadi hal yang menarik. Soalnya jadi pembiacaraan setelah pencoblosan tanggal 27 November, Rabu kemarin. Hingga Komisi Pemilihan Umum menetapkan hasil perhitungan suara, maka isu menang kalah ini akan terus menggema. Karena Pilkadanya serentak, hiruk pikuk menang kalah pun terus bersenandung menghiasi seantero bumi nusantara.

Mestinya, ketiban menang atau kalah bukan lagi sesuatu yang mengejutkan bagi kontestan Pilkada. Lumrah atau biasa dalam sebuah pertarungan. Bahkan, pada berbagai kesempatan, misalnya dalam deklarasi damai, masing masing pasangan calon biasanya akan menegaskan untuk, “siap menang dan siap kalah.”

Baca Juga : Sssttt…Harap Tenang!

Tapi ada juga yang sportif. Walau KPU belum melakukan rapat pleno penentuan hasil perhitungan suara pilkada, sejumlah pasangan calon kepala daerah sudah menyampaikan ucapan selamat atas kemanangan kepada rivalnya. Patokan mereka mungkin, berdasarkan data hasil perhitungan suara dari saksi yang ditebar tim paslon di setiap tempat pemungutan suara atau TPS.

Banyak cara dilakukan oleh para kontestan pilkada dalam mengucapkan selamat kepada rekan sekompetisinya. Ada yang berupa ungkapan teks dan diunggah di akun media sosial milik sang calon kepala daerah. Selain teks, banyak juga yang mengungkapkan langsung melalui video yang diunggah di medsos atau ketika konfrensi pers di hadapan media.

Bila mengacu pada aturan atau regulasi terkait pesta demokrasi Pilkada, negara sebenarnya memberikan banyak ruang bagi pihak yang merasa belum puas atau keberatan. Sejumlah gugatan dimungkinkan melalui lembaga konstitusional. Ada Badan Pengawas Pemilu, Mahkamah Konstitusi dan sebagainya. Tergantung dari hal atau temuan yang hendak dipermasalahkan. Bila mengacu dari pesta demokrasi yang sudah dilalui, tak sedikit laporan yang disidangkan dan bahkan berujung berubahnya hasil pemilihan.

Jika berkaca pada banyak opsi untuk mempersoalkan hasil Pilkada, harusnya koar koar di ruang publik atau media sosial bisa dieleminir. Karena efek medsos yang tak terkendali bisa berdampak negatif. Malah kalau terjadi salah paham, saling bersahutan di medasos dapat berujung adu jotos di dunia nyata.

Nah, di sinilah pentingnya para kontestan yang bertarung di Pilkada, untuk ikut membangun suasana kondusif pasca pemilihan. Calon kepala daerah hendaknya menyampaikn sesuatu terhadap hasil Pilkada. Tak mesti harus menerima. Bila ada rencana untuk menyampaikan keberatan, bisa saja disampaikan dengan sejumlah paparan temuan dan disertai penjelasan. Sehingga demikian, pendukung mereka merasa terwakili dan tersalurkan rasa emosional dalam diri yang mungkin lama terpendam.

Baca Juga : Tersiarnya Debat Pilkada

Selain berupa padanan kata atas sebuah peristiwa di kehidupan, menang dan kalah kadang juga sebagai suatu siklus. Bila diibaratkan roda, yang menang di atas dan kalah di bawah, maka seiring waktu atau suatu saat, roda tentu akan berputar. Secara otomatis posisi dapat saling berganti. Jika demikian adanya, “move on” menjadi salah satu upaya jitu untuk menyikapinya. Tak perlu terlalu berlarut hingga sampai gundah gulana-bagi yang kalah dan gembira ria berlebihan-untuk sang pemenang.

Bagi pejuang sejati, kalah atau menang bukanlah segalanya. Visi misi besar tentang kebenaran, kemaslahatan, kemakmuran dan kesejahteraan, pasti akan selalu berkobar dalam diri. Dapat kita saksikan sejarah kehidupan dan peradaban manusia dari abad ke abad, banyak para pejuang yang sebelumnya terlunta dan bahkan seperti terbenam dalam lumpur, namun seiring waktu berjalan akhirnya berbuah kemenangan.

Biar tak perlu jauh ke belakang, sang pelaku masih hidup hingga kini. Xanana Gusmao di Timor Leste misalnya. Sejak berhasil “memerdekakan diri” dari Indonesia, sudah sekian kali dia berada di posisi puncak kekuasaan, baik sebagai Presiden maupun Perdana Menteri di negaranya Timor Leste. Padahal dulu, sebelum tahun 1998, Xanana adalah gerilyawan yang berperang, hidup kesehariannya menyusuri hutan belantara melawan Pemerintah Indonesia. Anwar Ibrahim di Malaysia pun sama. Ia dan keluarganya tak pernah berhenti berjuang dan kini menjadi Perdana Menteri.

Baca Juga : Sambas Berkurban

Begitu juga Megawati Soekarno Putri, sejak Orde Baru sering ditindas dan diuber, selain pernah menjabat Presiden, mega hingga kini merupakan pemimpin partai besar di Indonesia dan partainya sudah kesekian kali memenangi Pemilu. Termasuklah Prabowo Subianto, pada tanggal 20 Oktober lalu resmi menjadi Presiden Republik Indonesia, setelah tiga kali kalah dalam kontestasi Pilpres.

Berkecamuk rasa kesal, kecewa, dan juga amarah-teraduk jadi satu, tentu sebagai hal biasa bagi setiap insan manusia yang mengalami kekalahan. Namun para cerdik pandai di berbagai serial motivasi selalu berpesan;
“Orang yang kuat sesungguhya adalah siapapun dia yang mampu untuk bangkit kembali-setelah terpuruk dan jatuh, lalu kemudian segera menjemput kemenangan atau kesuksesan.”

Dan bahkan, lebih filosofis terkait hal ihwal kekalahan ini, salah satu bait puisi dari pujangga lagendaris Chairil Anwar, juga patutlah kiranya untuk disimak. Hampir seabad silam, Beliau sudah berujar di bait puisinya kira kira begini;
“Hidup sesungguhnya hanya lah menunda kekalahan. Sebelum pada akhirnya kita menyerah.” ** (Penulis warga Kalimantan Barat)

Facebook Comments

Artikel ini telah dibaca 1713 kali