JAKARTA- Pilihan Koalisi Merah Putih di Senayan yang mengesahkan UU Pilkada melalui DPRD tidak saja menghilangkan hak suara rakyat. Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebagai lembaga penyelenggara Pemilu ikut terkena imbas dari UU ini. bagaimana tidak, pekerjaan penyelenggara Pemilu itu diprediksi berkurang. Otomatis KPU hanya akan menyelenggarakan Pemilihan Legislatif dan Presiden.
Dikonfirmasi soal tersebut, Ketua KPU Husni Kamil Manik justru bersikap pasrah. Dia menuturkan, pihaknya akan menunggu sampai UU Pilkada tersebut terbit. ’’Posisi kami masih menunggu,’’ katanya saat dikutip jawapost.
Lalu, bagaimana posisi KPU jika Pilkada digelar secara tidak langsung? Husni menyatakan, seharusnya hal itu ditanyakan kepada DPR. KPU belum mengetahui apa-apa mengenai masalah tersebut. ’’Setelah terbit, baru bisa komentar,’’ tuturnya.
Sekjen DPP PPP M. Romahurmuziy mencontohkan, salah satu pihak yang dirugikan adalah para konsultan politik dan lembaga survei.
’’Mereka akan mengalami kiamat sugro atau kiamat kecil,’’ ungkapnya, dikutip sindo.
Dia menambahkan, demokrasi prosedural melalui survei politik tidak akan lagi bisa dilakukan. Selama ini, beber dia, lembaga survei sering bermain-main dengan popularitas dan elektabilitas kandidat calon. Karena itu, calon yang benar-benar memiliki kapasitas dan integritas serta aspek lainnya yang dibutuhkan sebagai pemimpin sejati akhirnya kalah oleh faktor popularitas dan elektabilitas tersebut.
Banyak Mudarat
Di gedung KPK, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menyampaikan pandangan lembaganya atas hasil rapat paripurna. Menurut dia, justru lebih banyak mudaratnya jika Pilkada dilaksanakan lewat DPRD. Tentu saja hal itu dilihat dari kewenangan KPK dalam menangani kasus korupsi. ’’Itu analisis yang didapat,’’ katanya.
Mantan advokat tersebut menjelaskan, tidak ada jaminan pemilihan lewat DPRD tanpa transaksi. Apalagi kalau berkaca pada tingginya kasus yang dihadapi anggota parlemen di pusat maupun daerah.
Menurut data Ditjen Otonomi Daerah, ada 3 ribu wakil rakyat yang berurusan dengan hukum. Kepala daerah yang bersalah mencapai 290-an dengan 51 perkara di antaranya ditangani KPK. Nah, kalau DPRD yang memiliki banyak kasus menjadi pemilih, kualitas yang dipilih tentu mengkhawatirkan.
’’Diduga, ada konsesi-konsesi, tukar-menukar kepentingan,’’ dikutip jawa post.
Pria yang akrab disapa BW itu lantas memberikan contoh. Dalam pilkada langsung, transaksi uang umumnya terjadi di masyarakat. Itu pun angkanya kecil dan bertujuan untuk membeli suara. Jika pilkada dilakukan DPRD, nilai transaksinya jauh lebih besar. ’’Transaksinya besar dan sistemik. Periodenya juga lima tahun. Kalau ke rakyat, paling cuma sekali,’’ jelasnya.
Sebenarnya, lanjut BW, KPK pernah menyampaikan pandangan saat bertemu unsur pimpinan DPR. Yakni, soal potensi-potensi atau lubang terjadinya tindak pidana dalam pilkada. Namun, tampaknya, hasil perbincangan tersebut tidak terlalu didengar. Buktinya, sampai saat ini DPR tidak fair terhadap KPK.
’’Kalau KPK diminta terlibat lebih jauh dalam Pilkada, buka itu perwakilan KPK. Enggak fair kalau KPK diminta, tapi enggak dibuka jalannya,’’ tegasnya. Akibatnya, lembaga pimpinan Abraham Samad itu selama ini hanya berusaha membangun sistem. (berbagai sumber)
Artikel ini telah dibaca 1704 kali