25 Tahun Reformasi Halloo..!!

Oleh : Mursalin

Hari ini. 25 tahun lalu. Genap sudah seperempat abad perjalanan reformasi di negeri ini. Soeharto mundur dari jabatan Presiden adalah titik awalnya reformasi: 21 Mei 1998. Sejarah pasti sudah mencatatnya dengan rapi.

Mengingat sudah ada embel abadnya, 25 tahun tentu bukan waktu yang singkat. Tapi, kalau dibanding dengan usia kekuasaan Pak Harto yang 32 tahun, usia reformasi masih jauh lebih muda. He..he.

Karena sudah 25 tahun berjalan, wajar jika banyak yang bertanya tentang reformasi. “Apa hasil (reformasi) bagi bangsa ini?” “Apakah sesuai yang diharapkan atau dicitakan atau malah sebaliknya?”

Jawabnya tak jarang kita dengar normatif. Ada yang mengatakan sudah sesuai harapan. Namun ada juga yang berkata, belum memuaskan. Bahkan ada pula yang malah melihat, reformasi justeru membuat bangsa ini kian carut marut. Beragam pendapat mengemuka. Masing masing pasti dengan dalil. Disertai juga dengan bumbu argumentasi.

Nah, Saya tentu merasa bersyukur. Karena kebetulan saat peristiwa reformasi 98 terjadi, ikut menyaksikannya secara langsung. Bahkan bukan hanya menyaksikan, pada waktu itu, meski nun jauh dari ibu kota Jakarta, Kami berkesempatan pula ikut bergerak, turun ke jalan dan berteriak bersama ribuan mahasiswa di Kalbar. Seluruh negeri waktu itu bergemuruh, kompak dengan tuntutan yang sama; “Reformasi..Turunkan Soeharto!”

Diantara yang dituntut yaitu; amandemen Undang Undang Dasar, pemberantasan korupsi kolusi nepotisme (KKN), pencabutan dwifungsi ABRI (militerisme), pengakan hukum, demokrasi dan HAM, kebebasan pers, dan otonomi derah (desentralisasi).

Dari sejumlah tuntutan tersebut, secara formal, apa yang diamanahkan dari reformasi, pasca 1998 hingga hari ini, sebenarnya sudah dilaksanakan. Misalnya amandemen UUD, beberapa kali MPR telah bersidang. Begitu juga Dwifungsi ABRI, karena dicabut sehingga tak ada lagi jatah tentara dan polisi di parlemen seperti dizaman orde baru. Begitu juga korupsi-kolusi-nepotisme atau KKN. Soeharto selaku mantan Presiden sempat diadili di Pengadilan. Tak hanya itu, lembaga antirasuah bernama Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK dibentuk oleh negara.

Begitu juga untuk pers. Undang Undang Pers yang mamayungi kebebasan pers dihadirkan. Karena tak perlu lagi ijin mendirikan usaha pers, media pun bermunculan bak jamur dimusim hujan.

Sementara itu, sistem pemerintahan yang sentralistis, terkendali penuh di pusat, diperlonggar. Daerah diberikan otonom dengan harapan lebih kreatif dalam memajukan daerahnya. Undang Undang Pemda yang sentralistis dicabut dan diganti dengan regulasi yang lebih memberikan otonomi kepada Pemerintah Daerah.

Sedangkan untuk penegakan HAM, pemerintah juga bekerja sigap. Operas militer (DOM) yang berlangsung puluhan tahun di Aceh dihentikan. Bukan hanya itu, pengadilan HAM juga hadir untuk mengadili para pelanggar HAM. Sejumlah pelaku pelanggar hak asasi diadili.

Digelarnya Pemilu- setahun setelah reformasi pada tahun 1999, padahal Pemilu baru digelar dua tahun sebelumnya 1997, juga merupakan rangkaian dari spirit reformasi dalam hal pembenahan demokrasi. Kreatifitas bedemokrasi oleh bangsa ini terus berkembang, seperti dengan membentuk lembaga penyelengara pemilu bernama Komisi Pemilihan Umum atau KPU, yang independen dan permanen.

Bahkan untuk pemilihan Presiden dan kepala daerah, yang sebelumnya melalui parlemen, diubah menjadi pemilihan secara langsung dan dimulai saat Pemilu 2004. Tak lengkap hanya dengan pilpres dan pilkada langsung, penentuan dewan terpilih dari hasil Pemilu-yang sebelumnya berdasarkan nomor urut, pun diubah menjadi berdasarkan perolehan suara terbanyak. Agar Pemilu berjalan dengan baik, lembaga pengawas Pemilu- yang sebelumnya hanya ad hoc, dibuat permanen seperti KPU.

Lengkap sudah sepertinya (sepintas), pernak pernik perjalanan reformasi didesain sedemikian rupa oleh bangsa ini. Ikhtiar mewujudkan perjuangan reformasi, bisa dikatakan sudah Alhamdulillah-dalam kurun seperempat abad ini. Namun tentu tak hanya sekadar formalitas semata-tertuang di regulasi dan serta turunannya. Hasil atau output dari “kerja reformasi” juga tak kalah penting.

Dan untuk penilaian hasil, biasanya lebih terukur, sesuai data. Misalnya pertumbuhan ekonomi, jumlah penduduk miskin, indeks demokrasi, indeks kebebasan pers, indeks korupsi dan lain sebagainya. Karena kita hidup bersama dengan negara lain di planet bumi ini, pihak asing atau pihak luar, juga kadang ikut melibatkan diri secara aktif serta mengawasi dan memberi rating atas pencapaian tersebut.

Sejak reformasi 1998, bisa kita saksikan pertumbuhan ekonomi kita angka capaian maksimalnya hanya di kisaran enam persen. Bahkan malah sering dibawahnya. Kalau ada yang menyoal atau menuntut lebih, sebagai suatu yang wajar, mengingat ada negara lain yang pertumbuhannya lebih tinggi jadi pembanding. Bahkan negara tetanga Singapura, sekian tahun (sebelum pandemi covid) bisa mencapai dua digit pertumbuhan ekonominya.

Juga terkait nilai tukar rupiah-terutama terhadap dolar Amerika. Sempat berhasil diredam dimasa pemerintahan transisi BJ Habibie-pasca krisis moneter 1997-1998, dari yang sempat dikisaran Rp 17 ribu membaik menjadi di kisaran Rp 8 ribu. Namun, sejak 1999 hingga sekarang, bisa dibilang, rupiah terhadap dolar US, selalu diatas sepuluh ribu rupiah (bahkan sering mendekati Rp 15 ribu). Padahal kekuatan nilai tukar mata uang suatu negara sangat penting.

Begitupun terkait indeks demokrasi, indeks korupsi, dan indeks kebebasan pers. Angka raihan yang dicapai negeri +62 ini, untuk beberapa indikator penting tersebut, selalu belum begitu menggembirakan.

Misalnya indeks demokrasi. Pada tahun 2022 saja, dari hasil riset Economist Intillegence Unit (EIU), indeks demokrasi Indonesia diangka 6,71. Skor tersebut sama dengan tahun sebelumnya, dan angka skoring yang demikian masuk kategori cacat. Bahkan peringkat demokrasi kita sempat melorot dari yang semula diurutan 52, bergeser ke posisi 54 secara global. Pada tahun 2021, kualitas demokrasi kita, untuk kawasan Asia Tenggara, masih dibawah Malaysia, Timor Leste dan Filipina (meski ketiga negara ini juga masuk kategori tipe rezim demokrasi cacat).

Sementara untuk indeks persepsi korupsi, dari laporan transparency internasioanal, Indonesia di tahun 2022, IPK nya jeblok dari yang semula diposisi 96 secara global, turun menjadi negara yang IPK nya diurutan 110. Angka nya hanya 34 poin (untuk rentang 0-100), turun empat poin dari tahun sebelumnya.

Untuk indeks kebebasan pers, Reporters Without Border (RSF) dalam rilisnya tahun 2023, menempatkan Indonesia dirutan 108 dari 180 negara yang mereka survei. Masih dibawah Malaysia yang diurutan 73 dan Timor Leste bahkan diposisi ke10.

Menyikapi kondisi yang ada di Indonesia hari ini, pasca reformasi, kalau melihat data yang tertera tersebut, sebaiknya kita melihatnya dengan bijak. Tidak perlu emosi atau bahkan melakukan pembelaan diri yang tak penting. Karena bagaimanapun, pemberian skoring dilakukan dengan kerja sain, empiris dan profesional.

Dan aneka indikator tersebut, sedikit banyak akan berpengaruh pada persepsi terhadap suatu negara. Efeknya bisa berimbas pada penilaian investor dan lainnya. Termasuklah minat orang dari luar negeri untuk berkunjung, berwisata. Biasanya faktor stabilitas sebuah negara menjadi yang paling utama.

Ketimbang melakukan debat kusir dan saling tuding atas pencapaian yang ada, akan lebih baik untuk kita semua merenung sejenak. Usia 25 tahun perjalanan reformasi dijadikan momentum melakukan evaluasi. Jika ada yang perlu dikoreksi, maka semua harus saling bahu membahu untuk memperbaiki, bukannya saling tuding dan menyalahkan satu sama lain.

Pun jika ditelusuri seandainya ada persoalan dalam komitmen, maka sudah sepantasnya kita untuk segera meluruskan kembali niat dan komitmen yang kita camkan dulu. Komitmen dari sebuah gerakan yang sudah menjadi konsensus bersama yaitu bernama reformasi.

Dan toh, nyatanya pun, mereka yang sekarang sedang diberikan amanah untuk mengurus negara, sejak reformasi bergulir hingga saat ini, umumnya adalah rerata para penggiat reformasi juga di tahun 1998 dulu. Idealnya mereka lebih mudah berkolaborasi karena memiliki semangat dan tujuan yang sama.

Selain penggiat reformasi, mereka para pemimpin atau pejabat di semua tingkatan saat ini, kalau mau jujur, pun semua adalah terlahir dari rahim reformasi-yang spiritnya memang sudah mewarnai dan menjalar di segala lini regulasi ke-tatanegara-an kita.

Nah, bila ada yang masih galau dan mencoba bersikap atau berpikir paradoks, sesegera mungkin kita bersama mencegah dan meluruskannya. Berupaya untuk statusquo dalam kekuasaan, korup, menjadi tirani, dan segala macam sikap yang anti reformasi, tak boleh didiamkan dan dibiarkan. Harus di-stop! Virusnya tidak boleh dibiarkan hidup dan bekembang.

Seperempat abad sebuah “pilihan sadar” jalan berbangsa dan bernegara yang dilakoni Indonesia hingga saat ini, adalah anugerah yang mesti disyukuri. Kita harus selalu optimis untuk menatap kedepan bangsa ini akan semakin baik dan maju. Kita banyak memiliki sumberdaya manusia yang cerdas dan berbakat. Anak muda yang bisa bertarung dikancah global. Mereka mesti diberi ruang seluas mungkin untuk berperan membangun negerinya; Indonesia.

Sudah saatnya, Indonesia mampu menunjukan jati diri dan eksistensinya kepada khalayak dunia, sebagai bangsa besar dan beradab. Dan insya Allah kita mampu. Salam Reformasi..!!** (Penulis bekerja di media dan tinggal di Kalbar)

Facebook Comments

Artikel ini telah dibaca 2763 kali