Banjir dan Asap

Sederhana saja. Masalahnya.Tak perlu pakai telisik. Tak mesti menggunakan teropong atau kaca pembesar. Dua hal paling krusial problem alam di Kalimantan Barat saat ini. Bila musim penghujan maka akan terjadi banjir. Jika kemarau panjang, muncullah kabut asap.

Kalau gempa, alhamdulillah Kalbar masuk kategori aman. Bukan kawasan yang berada di titik pergeseran lempeng. Gunung apinya juga sudah purba. Tak lagi aktif. Lama sekali. Nun, sangat lampau, merapinya ribuan atau bahkan jutaan tahun silam. Kata orang geografi, untuk gempa tektonik dan vulkanik, di Kalbar tidak ada.

Memahami muncul banjir juga sederhana. Dia tidak pernah terjadi tiba tiba yang sekonyong membuat orang menjadi kaget. Selalu diawali hujan terlebih dahulu. Karena hujannya deras, volume air yang besar meluncur ke sungai membuat sungai meluap. Akibat meluap, maka kawasan sekitar pun digenangi. Semakin lama hujan deras terjadi, maka genangan yang ditimbulkan juga kian meluas dan meninggi.

Sungai sebagai sumber kehidupan manusia sudah sejak dulu. Hampir dimana mana, bukan hanya di Kalbar, tapi juga Indonesia dan bahkan dunia, pasti banyak penduduk yang bermukim di sekitar sungai. Sebab, selain menyediakan sumber air, sungai juga merupakan sarana transportasi, disaat jalan darat belum ada.

Nah, ketika sungai meluap, lantas problem sosial pun hadir seketika. Aktifitas kehidupan menjadi terganggu. Orang tak bisa tinggal di rumahnya yang terendam. Tak bisa bekerja mencari nafkah. Makanya oleh Pak Presiden Jokowi, diutus lah Bu Menteri Sosial ke lokasi banjir di Kalbar. Bukan menteri Linkungan Hidup atau Menteri Pekerjaan Umum. Karena dampak sosial langsung yang terjadi di depan mata akibat luapan sungai tersebut.

Dampak sosial yang ada di depan mata memang harus ditangani. Terutama kebutuhan makanan bagi korban banjir. Persediaan obat juga perlu sepertinya. Termasuk fasilitas sanitasi di lokasi yang jadi tempat penampungan sementara korban banjir yang rumahnya masih terendam, harus disiapkan. Fasilitas itu MCK; mandi, cuci dan kakus.

Kebutuhan yang terkait manusia tentu bersifat darurat. Pemenuhannya harus segera dan tak bisa ditunda. Maka nya tak heran, Pak Gubernur Sutarmidji meradang saat pertemuan dengan perusahaan sawit. Inti nya itu tadi, membicarakan darurat ini, terkait kebutuhan orang-korban banjir. Maksud Gubernur untuk menggalang partisipasi perusahaan. Tapi mungkin karena perusahaan lambat “loadingnya”, Midji pun naik darah. Buntut nya “repekan” (baca: gerutuan) Pak Gub melebar kemana mana, sampai hal pajak perusahaan sawit kena getahnya. He..he. Termasuk sawit sebagai biang kerusakan hutan dan lingkungan sehingga muncul banjir juga dikait kaitkan..Ehmmmm.

Kembali ke masalah banjir di daerah timur Kalbar, kawasan hulu sungai Kapuas, yang sudah terjadi dua minggu lebih ini, patut untuk dicermati. Secara awam, pikiran sederhana kita mengatakan, harusnya air segera mengalir ke Sungai Kapuas nan panjang hingga ke Pontianak. Topografi kemiringan sungai mestinya membuat air meluncur setiap saat, tanpa perlu betah berlama di suatu tempat sampai berhari hari.

Memang sebegitu banyak sekali kah juga air yang meluncur dari Sekadau dan Sanggau dan daerah lainnya sekitar DAS Kapuas saat ini dimusim penghujan, sehingga air yang dari Sintang menjadi tertahan? Belum lagi luncuran air dari Sungai Melawi yang bermuara di Sungai Kapuas di Sintang, ikut memberi kontribusi, kabarnya.

Pertanyaan selanjutnya tentu adalah, sebegitu tidak ramah lagi kah hamparan lahan di kawasan perhuluan Kapuas sehingga tak kuasa lagi untuk menahan air? Atau malah tanahnya sudah tak lagi berdaya untuk menyimpan air akibat teksturnya mengalami kerusakan akibat permukaannya tak lagi rimbun? Hutan Kalbar habis memang tinggal secuil.

Memahami keadaan ini sepertinya tak perlu butuh riset panjang. Berdiskusi detil sampai berbulan bulan. Lagi lagi cukup sederhana sebenarnya, memahami “anatomi” banjir yang terjadi. Dia bukan suatu yang tiba tiba, melainkan potensinya (banjir) terlihat sangat jelas. Saban hari tampak di depan mata kita.

Jika begini keadaannya, volume air yang besar melimpah di Kapuas saat ini, sebenarnya juga dapat mengancam kawasan hilir, pada berikutnya. Terutama Kota Pontianak dan sekitarnya yang merupakan muaranya Sungai Kapuas. Bisa dibayangkan jika air dari hulu meluncur bersamaan dengan musim pasang laut dan ditambah lagi dengan curah hujan lebat, maka dipastikan giliran ibu kota propinsi yang bakal terendam.

Situasi dan kondisi Kota Pontianak dan sekitar sama saja sebenarnya. Kawasan resapan di ibu kota Kalbar semakin berkurang akibat alihfungsi lahan. Pertumbuhan pemukiman pesat saban tahun. Gambut yang menjadi andalan untuk menahan air pun luasannya kini kian menyempit di Pontianak dan sekitarnya.

Berkaca dari banjir yang sedang kita hadapi sekarang ini, maka sudah saatnya semua elemen, terutama para pemangku kepentingan, untuk lebih serius memperhatikan persoalan lingkungan dan alam sekitar. Karena begitu ia tidak seimbang akibat rusak, maka semua akan ikut merasakan dampaknya.

Sementara ini, memang ada dua problem yang jadi PR utama di daerah kita di Kalbar ini terkait lingkungan, yaitu banjir dan kabut asap. Kabut asap dampaknya juga tak kalah fatal karena ia melanda kawasan ibu kota propinsi Kalbar. Dampak yang ditimbulkan bukan hanya kesehatan, tapi juga mengganggu perekonomian; aktifitas pelabuhan dan penerbangan biasanya terimbas.

Mengingat problem banjir dan asap tidak datang secara serta merta, mestinya kalkulasi bisa dilakukan. Mulai dari penanganan dampak sosial, ekonomi dan lainnya yang ditimbulkan. Bahkan harus dimulai sejak sekarang untuk merekonstruksi kembali hutan dan kawasan penyangga yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan ekosistem di bumi Kalimantan Barat. Misalnya dengan target, tigapuluh sampai limapuh tahun kedepan, sepertiga dari daerah ini kembali dipenuhi hutan lebat nan rindang.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat memungkinkan untuk kita menjadi tanggap bencana. Siklus cuaca bukankah bisa dimonitor setiap saat. Kapan bulan basah, bulan kering, dapat terpantau oleh BMKG. Sehingga demikian, kedepan tak perlu terkaget kaget, ketika terjadi kemarau panjang atau musim penghujan. Dan kemungkinan dampak yang akan ditimbulkan olehnya. Semua sigap melakukan tugas dan fungsinya masing masing ketika muncul bencana. Gubernur tinggal memonitor dan tak perlu lagi naik pitam kepada pengusaha atau jajarannya yang lambat loading alias lelet..semoga!! ** (Penulis praktisi media dan pernah kuliah jurusan ilmu tanah di Faperta Untan)

Facebook Comments

Artikel ini telah dibaca 2264 kali